Dede Ngaku Beri Keterangan Palsu Kasus Kematian Vina karena Disuruh Iptu Rudiana
Tanggal: 23 Jul 2024 11:54 wib.
Dede Riswanto, atau yang dikenal dengan panggilan Dede (30 tahun), mengakui bahwa dia telah memberikan keterangan palsu terkait kematian Vina Dewi Arsita, juga dikenal sebagai Vina Cirebon, dan kekasihnya Muhamad Rizky atau Eky karena dipaksa oleh Iptu Rudiana, ayah dari Eky, dan temannya Aep. Dede mengakui bahwa dia terpaksa menuruti permintaan itu karena takut dengan Rudiana yang pada saat itu masih menjabat sebagai Kasat Narkoba Polres Cirebon. Pengakuan ini disampaikan Dede dalam suatu jumpa pers di Kantor Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Jakarta Timur, Senin (22/7/2024).
Dalam jumpa pers tersebut, Dede menyatakan, “Ya, mungkin karena (Rudiana) polisi, saya takut.” Dia juga didampingi oleh Ketua Umum PERADI Otto Hasibuan dan politikus Gerindra Dedi Mulyadi.
Dede menceritakan bahwa dia dan Aep memberikan keterangan palsu pada tahun 2016. Pada waktu itu, Dede bekerja sebagai pegawai cuci mobil dan menjelaskan bahwa dia bekerja di sana kurang lebih selama satu bulan.
Pada suatu malam saat sedang libur, Dede dihubungi oleh Aep dan diminta untuk datang ke suatu tempat. Ternyata tempat yang dimaksud Aep adalah Polres Cirebon, dengan tujuan untuk menjadi saksi dalam kematian Eky, anak dari Iptu Rudiana.
“Saya kenal Aep saat bekerja. Ceritanya, malam itu Aep menelpon saya mengajak saya ke Polres tanggal 2 September 2016, sekitar jam 7 malam. Karena enggak tahu daerah situ, saya diantar ke Polres. Setelah tiba di sana, saya bertanya kepada Aep, ‘Aep mau ngapain ke sini? Saya bawa keterangan saksi pak Rudiana yang meninggal’,” ungkap Dede.
Setelah tiba di Polres Cirebon, Dede diminta untuk mengikuti perintah dari Aep dan bertemu dengan Iptu Rudiana.
“Setelah itu, saya bertanya kepada Aep lagi, ‘Mau ngapain kita di sini? Saya tidak tahu peristiwa itu.’ Dia bilang itu. Saya bertanya juga kepada Pak Rudiana, ‘Mau ngapain buat keterangan apa? Saksi buat anak saya yang meninggal.’ Belum tahu (Iptu Rudiana), saya baru tahu pas masuk Polres. Ketika saya masuk, saya bertanya kepada Aep, ‘Mau ngapain ke sini? Saya mau jadi saksi anaknya Pak Rudiana yang meninggal.’ Saya tahu Rudiana pun di situ, jadi saksi,” jelas Dede.
Dari situ, Dede diminta untuk membuat keterangan bahwa dia melihat segerombolan motor yang melempar bambu dan batu serta melakukan pengejaran.
“Dari situ, saya diberitahu saya nongkrong di warung. Kalau itu benar, saya nongkrong beli rokok. Tapi kalau ada pelemparan batu dan bambu serta pengejaran segerombolan motor, sebenarnya itu tidak ada,” ungkapnya.
Ketika berada di Polres, diketahui bahwa Iptu Rudiana mengenakan baju biasa.
“Iptu Rudiana mengenakan baju biasa. Dia dikenalkan oleh Aep, ‘Ini Pak Rudiana.’ Saya diberitahu bahwa dia polisi. Saya sudah tahu intel narkoba,” tambah Dede.
Dari pengakuan yang diberikan oleh Dede, terlihat bahwa dia merasa terpaksa untuk memberikan keterangan palsu dalam kasus kematian Vina dan Eky, karena terdapat tekanan dan ancaman yang berasal dari Iptu Rudiana. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh yang kuat dari pihak yang berwenang pada saksi, yang pada akhirnya mempengaruhi jalannya proses hukum dan keadilan.
Sungguh ironis apabila dalam penegakan hukum, orang-orang yang seharusnya menjadi pelindung dan penegak keadilan justru terlibat dalam tindakan yang melanggar hukum. Pengakuan Dede ini juga memberikan pelajaran bahwa kekuasaan dan kedudukan seseorang dalam institusi kepolisian tidak seharusnya digunakan sebagai alat untuk mempengaruhi proses peradilan.
Hal ini juga menimbulkan pertanyaan besar terkait independensi penegakan hukum dan perlindungan saksi-saksi yang seharusnya menjadi objek perlindungan dalam sebuah kasus hukum. Pengalaman yang dialami oleh Dede dapat menjadi cermin bagi pihak penegak hukum untuk memastikan bahwa proses peradilan berjalan dengan adil tanpa adanya tekanan atau intervensi dari pihak mana pun, termasuk dari pihak yang memiliki kedudukan dan kekuasaan di dalam institusi kepolisian.
Pada akhirnya, kasus ini menunjukkan betapa pentingnya independensi dalam penegakan hukum. Keterlibatan aparat penegak hukum dalam kasus ini juga menunjukkan pentingnya keberadaan mekanisme pengawasan dan kontrol internal dalam institusi kepolisian untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang serta intervensi dalam proses peradilan. Ini juga menjadi panggilan bagi pemerintah dan institusi terkait untuk memastikan bahwa sistem hukum yang ada benar-benar mampu melindungi hak-hak setiap individu dan menjamin keadilan dalam proses peradilan.
Pengalaman Dede Riswanto juga menjadi pengingat bahwa setiap individu yang terlibat dalam proses hukum, baik sebagai saksi maupun sebagai pihak terkait, harus mendapatkan perlindungan dan keamanan dari pihak penegak hukum, tanpa adanya ancaman atau tekanan dari pihak mana pun. Ini merupakan prinsip dasar dalam upaya menciptakan sistem peradilan yang adil dan menjunjung tinggi nilai kebebasan serta keadilan bagi setiap individu di mata hukum.