Dampak Panjang Deforestasi, Dari Rusaknya Tanah hingga Bencana Banjir Berulang
Tanggal: 6 Des 2025 11:45 wib.
Penebangan hutan dan pembukaan lahan secara besar-besaran, terutama untuk kebutuhan tambang emas dan pasir, telah menjadi salah satu penyebab utama kerusakan lingkungan di berbagai daerah Indonesia. Deforestasi bukan sekadar menghilangkan pepohonan, tetapi juga merusak keseimbangan alam yang selama ini menjaga stabilitas tanah dan mengatur aliran air. Ketika hutan hilang, tanah yang sebelumnya tertutup akar pohon menjadi rapuh, mudah tererosi, dan sulit menyerap air. Inilah awal mula berbagai bencana alam yang kian sering terjadi, terutama banjir dan longsor di musim hujan.DLH Luwu mencatat bahwa perubahan tutupan lahan akibat pembukaan tambang emas dan pasir telah memperlemah daya serap tanah serta meningkatkan risiko aliran permukaan yang tidak terkendali. Hutan yang semestinya berfungsi sebagai penyangga air tak lagi mampu menahan derasnya hujan. Tanpa vegetasi, air langsung mengalir ke lembah dan sungai, membawa lumpur dalam jumlah besar. Kondisi ini menyebabkan sungai cepat meluap, sedangkan lereng perbukitan menjadi jauh lebih rentan terhadap longsor. Situasi inilah yang beberapa kali memicu terjadinya bencana di Luwu dan wilayah sekitarnya, terutama pada saat curah hujan tinggi.Secara ekologis, hutan memiliki peran vital sebagai “spons alami”. Pepohonan, serasah daun, dan akar berfungsi menyerap air, menyimpannya, serta melepaskannya secara perlahan. Namun ketika kawasan hutan dibuka untuk tambang, lapisan tanah atas yang kaya unsur hara ikut terangkat. Tanah menjadi terbuka, kering, dan tidak stabil. Aktivitas penambangan emas, yang sering dilakukan melalui penggalian tanah hingga kedalaman tertentu, menyebabkan struktur tanah rusak parah. Begitu pula dengan tambang pasir yang mengikis permukaan tanah tanpa mempertimbangkan daya dukung ekologis. Hilangnya struktur tanah inilah yang membuat kawasan tambang sangat mudah longsor, bahkan pada hujan dengan intensitas sedang.Di sisi lain, pembukaan lahan yang tidak terkendali turut memperburuk sedimentasi sungai. Material tanah yang tererosi dari aktivitas tambang akan terbawa air hujan dan mengendap di sungai. Akumulasi sedimen ini mengurangi kapasitas sungai menampung air. Akibatnya, ketika turun hujan lebat, air lebih cepat meluap dan menyebabkan banjir bandang. Fenomena seperti ini bukan hal baru, dan sering menjadi pemicu bencana di daerah yang memiliki banyak aktivitas tambang. Kondisi serupa juga dialami masyarakat Luwu, yang beberapa kali menghadapi banjir dan longsor akibat kerusakan hulu sungai dan kawasan pegunungan yang telah berubah menjadi area tambang.Tidak berhenti pada masalah fisik, deforestasi untuk pembukaan tambang turut membawa dampak terhadap keanekaragaman hayati. Flora dan fauna kehilangan habitat, sehingga banyak spesies terpaksa berpindah atau punah. Ekosistem yang rusak akan sulit kembali pulih tanpa upaya rehabilitasi serius. Ketika semua ini dibiarkan tanpa pengawasan ketat, masyarakat sekitar menjadi pihak yang paling merasakan dampaknya. Banjir merusak rumah, merendam lahan pertanian, menutup akses jalan, dan mengganggu aktivitas ekonomi. Longsor pun dapat merenggut nyawa, menghancurkan infrastruktur, dan meninggalkan luka sosial yang tidak mudah dipulihkan.Kerusakan jangka panjang akibat deforestasi tidak hanya mempengaruhi kondisi tanah dan kestabilan lingkungan. Dampaknya juga terasa pada ketersediaan air bersih. Kawasan yang kehilangan vegetasi akan cepat kehilangan sumber air karena tidak ada lagi akar pohon yang membantu menyimpan air dalam tanah. Sungai menjadi keruh, tercemar lumpur, bahkan berisiko terkontaminasi bahan kimia dari aktivitas pertambangan. Hal ini sangat berbahaya bagi masyarakat yang bergantung pada sungai untuk kebutuhan sehari-hari maupun irigasi. Tanpa hutan, siklus air terganggu dan daerah tersebut perlahan kehilangan kemampuan untuk memulihkan diri.Kasus di Luwu menjadi contoh nyata bagaimana pembukaan lahan tambang emas dan pasir dapat menjadi pemicu utama bencana berulang. Ketika hutan-hutan di kawasan pegunungan ditebang dan lahan dibuka tanpa analisis dampak lingkungan yang memadai, tanah menjadi tidak stabil. Pada musim hujan, aliran air yang deras dengan cepat mengikis lereng, membawa material tambang dan tanah gembur ke bawah. Kombinasi antara hilangnya vegetasi, struktur tanah yang rusak, dan sedimentasi sungai adalah formula sempurna untuk terjadinya bencana ekologis. Masyarakat yang tinggal di hilir akhirnya menanggung akibat yang tidak sebanding dengan keuntungan ekonomi dari tambang tersebut.Oleh sebab itu, penting untuk memahami bahwa deforestasi memiliki efek berantai yang sangat panjang. Kerusakan hutan tidak berhenti pada hilangnya pepohonan, tetapi juga melemahkan sistem pendukung kehidupan. Keseimbangan ekologi yang hancur akan memicu bencana berulang, mengancam kehidupan masyarakat, merusak infrastruktur, dan menimbulkan kerugian ekonomi jangka panjang. Upaya pencegahan harus dimulai dari penegakan hukum terhadap aktivitas tambang ilegal, pengawasan ketat terhadap izin lingkungan, serta program pemulihan lahan yang telah rusak.DLH Lawu melalui https://dlhluwu.org/berita/ menjadi salah satu rujukan penting untuk memahami berbagai informasi, edukasi, dan perkembangan mengenai lingkungan di Luwu, termasuk laporan kerusakan, upaya rehabilitasi, serta kebijakan terkait pengelolaan hutan dan tambang. Melalui sinergi pemerintah, masyarakat, dan lembaga lingkungan, kerusakan yang telah terjadi masih dapat diminimalkan agar tidak berubah menjadi bencana yang terus berulang. Menjaga hutan berarti menjaga masa depan, dan langkah ini harus dimulai sekarang.