Sumber foto: iStock

Cuti Ayah di Indonesia: Hak yang Masih Setengah Hati? Temuan Mengejutkan dari Riset Terbaru!

Tanggal: 4 Mei 2025 08:55 wib.
Peran ayah dalam proses kelahiran dan perawatan anak pascapersalinan semakin mendapat perhatian di berbagai negara, termasuk Indonesia. Riset terbaru menunjukkan bahwa tren pemberian cuti ayah (paternity leave) mulai berkembang di Tanah Air. Namun, kenyataan di lapangan masih jauh dari ideal. Meski banyak perusahaan mulai mengakui pentingnya keterlibatan ayah di awal kehidupan anak, praktik pemberian cuti ini masih sangat terbatas.

Masa setelah persalinan merupakan periode krusial, baik secara fisik maupun emosional, terutama bagi ibu. Dukungan emosional, psikologis, dan logistik dari pasangan sangat dibutuhkan. Sayangnya, kebijakan perusahaan yang memungkinkan ayah turut serta dalam fase ini masih sangat terbatas. Padahal, kehadiran ayah bukan hanya membantu ibu pulih lebih cepat, tetapi juga membangun ikatan emosional awal antara ayah dan bayi.

Payung Hukum Cuti Ayah di Indonesia

Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah mulai mengambil langkah untuk mengatur hak ayah dalam mendampingi istri saat melahirkan. Undang-Undang No. 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak menyebutkan bahwa pekerja laki-laki berhak atas cuti selama dua hari, yang bisa diperpanjang hingga tiga hari atau sesuai kesepakatan antara perusahaan dan karyawan. Sayangnya, durasi cuti ini masih tergolong singkat bila dibandingkan dengan negara-negara lain yang sudah lebih maju dalam hal kebijakan keluarga.

Fakta di Lapangan: Cuti Ayah Masih Belum Jadi Standar

Laporan terbaru dari Jobstreet by SEEK berjudul "Rekrutmen, Kompensasi, dan Tunjangan 2025" memberikan gambaran yang cukup mengkhawatirkan. Survei yang dilakukan terhadap 1.273 profesional di bidang sumber daya manusia dan rekrutmen di Indonesia menunjukkan bahwa 43% perusahaan telah memiliki kebijakan cuti ayah, namun hanya 14% di antaranya yang benar-benar menerapkannya atau berencana menerapkannya dalam 12 bulan ke depan.

Angka ini mencerminkan adanya ketimpangan antara kebijakan di atas kertas dan realisasi di lapangan. Banyak perusahaan sudah menyadari pentingnya cuti ayah, tetapi belum memiliki keberanian atau komitmen penuh untuk mengeksekusinya. Ini bisa disebabkan oleh kekhawatiran akan produktivitas yang menurun atau anggapan bahwa peran mengasuh anak sepenuhnya adalah tanggung jawab ibu.

Cuti Ayah: Lebih dari Sekadar Fasilitas Tambahan

Paternity leave bukanlah sekadar bonus atau tunjangan, melainkan bentuk nyata dukungan perusahaan terhadap keseimbangan peran dalam keluarga modern. Dengan memberi waktu bagi ayah untuk hadir di awal kehidupan anaknya, perusahaan tidak hanya mendukung kesehatan mental ibu, tapi juga membangun fondasi keterlibatan ayah yang lebih kuat dalam pengasuhan jangka panjang.

Berikut beberapa langkah strategis yang bisa diterapkan perusahaan untuk membangun budaya kerja yang inklusif dan ramah keluarga:

1. Buat Kebijakan yang Terstruktur dan Jelas

Perusahaan perlu menyusun dokumen resmi mengenai paternity leave, termasuk durasi cuti (idealnya 2 hingga 8 minggu), prosedur pengajuan, kriteria kelayakan, serta apakah cuti tersebut dibayar atau tidak. Transparansi ini penting agar karyawan tidak merasa ragu atau bingung saat ingin memanfaatkan hak tersebut.

2. Lakukan Sosialisasi dan Hapus Stigma

Salah satu hambatan terbesar dalam penggunaan cuti ayah adalah rasa takut akan dampak terhadap karier. Banyak pria enggan mengambil cuti karena khawatir dianggap tidak serius dalam pekerjaan. Oleh karena itu, penting bagi HR dan manajemen untuk aktif menyosialisasikan pentingnya cuti ayah dan menciptakan lingkungan yang mendukung keputusan tersebut.

3. Rancang Sistem Transisi Kerja

Agar produktivitas tetap terjaga, perusahaan bisa merancang rencana kerja sebelum dan sesudah masa cuti. Komunikasi antara atasan, HR, dan karyawan menjadi kunci agar proses transisi berjalan lancar dan tidak menimbulkan gangguan dalam operasional tim.

4. Evaluasi dan Perbaikan Berkala

Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang adaptif. Perusahaan disarankan untuk melakukan evaluasi tahunan terhadap implementasi cuti ayah, termasuk mengumpulkan masukan dari karyawan yang pernah menggunakannya. Dengan begitu, perusahaan bisa terus menyempurnakan kebijakan sesuai kebutuhan zaman.

Menuju Budaya Kerja yang Lebih Manusiawi

Data dari riset Populix 2024 menyebutkan bahwa 56% perusahaan di Indonesia telah memberikan cuti melahirkan selama tiga bulan untuk ibu. Ini menandakan adanya pergeseran pola pikir ke arah yang lebih progresif. Namun, agar kesetaraan benar-benar terwujud, hak serupa juga perlu diberikan kepada para ayah.

Perusahaan yang memberikan cuti orang tua secara seimbang tidak hanya akan menjadi tempat kerja yang sehat dan produktif, tapi juga menarik bagi talenta muda yang menghargai keseimbangan hidup dan nilai keluarga. Di era di mana citra perusahaan tak lagi hanya dinilai dari profit, melainkan juga nilai yang diusung, kebijakan seperti paternity leave menjadi investasi jangka panjang yang sangat strategis.

Refleksi di Hari Kartini

Momentum seperti Hari Kartini bisa menjadi pengingat yang kuat bagi dunia kerja di Indonesia: sudahkah kita memberikan ruang bagi para ayah untuk terlibat secara utuh dalam kehidupan keluarganya? Sudahkah perusahaan menempatkan keseimbangan peran keluarga sebagai bagian dari budaya kerja?

Menjawab tantangan ini bukan hanya soal regulasi, tapi juga keberanian perusahaan untuk membentuk ekosistem kerja yang lebih inklusif, adil, dan berorientasi pada nilai kemanusiaan.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved