China Akan Memangkas Impor Batubara dari Indonesia, Pengusaha Ungkap Penyebabnya

Tanggal: 13 Jun 2025 11:47 wib.
Penurunan permintaan batubara yang diimpor oleh China diperkirakan akan terus berlanjut hingga tahun 2025. Negara yang dikenal dengan sebutan Negeri Tirai Bambu ini kini semakin mengandalkan produksi batubara domestik yang terus mengalami peningkatan dan mencetak rekor tertingginya. Situasi ini memberikan dampak pada harga batubara global dan berpengaruh langsung terhadap kinerja ekspor Indonesia.

Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), menjelaskan bahwa produksi batubara di China pada tahun ini diperkirakan mencapai angka rekor sekitar 4,7 miliar ton. Angka produksi ini diperkirakan tidak akan mengalami perubahan signifikan pada tahun 2024 mendatang. Namun, di tengah peningkatan produksi tersebut, permintaan batubara di dalam negeri akan mengalami penurunan karena stok yang masih terbilang cukup tinggi. "Oleh karena itu, permintaan impor batubara juga diproyeksikan akan lebih rendah dibandingkan tahun ini," ungkap Hendra dalam sebuah wawancara.

Sementara itu, pada tahun 2024, impor batubara termal yang dilakukan oleh China tercatat mencapai sekitar 421 juta ton. Namun, menurut laporan dari Reuters, terdapat potensi penurunan yang signifikan dalam angka impor batubara di tahun ini dan tahun depan. Penurunan ini bisa mencapai antara 50 juta hingga 100 juta metrik ton. Hal ini disampaikan oleh Xuegang Li, Wakil Presiden Asosiasi Transportasi dan Distribusi Batubara China, pada konferensi Coaltrans China yang membahas isu terkini mengenai batubara.

Tak hanya China, India juga menunjukkan tren serupa dalam pengurangan impor batubara, seiring dengan meningkatnya produksi domestik dan melimpahnya stok batubara di negara itu. Dengan kedua negara ini, yang selama ini menjadi pasar utama untuk ekspor Indonesia, diperkirakan akan mengurangi volume pembelian, maka perekonomian batubara Indonesia menghadapi tantangan yang semakin besar.

Hendra menambahkan, "Turunnya permintaan dari China dan India ini, yang disebabkan oleh tingginya produksi dan inventaris, jelas menyebabkan tekanan pada harga. Sementara itu, biaya produksi perusahaan-perusahaan batubara juga terus meningkat, salah satunya disebabkan oleh kebijakan B40, kenaikan tarif royalti, dan kewajiban penempatan DHE yang berdampak pada biaya bunga." Ini semua telah berkontribusi pada menyempitnya margin laba perusahaan, terlebih ketika harga batubara global berada pada level terendah dalam beberapa tahun terakhir.

Dampak dari tren ini juga terlihat pada kinerja ekspor batubara Indonesia. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan bahwa volume ekspor batubara Indonesia dari Januari hingga April 2025 hanya mencapai sekitar 160 juta ton. Jumlah ini mengalami penurunan dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, yang tercatat sebesar 171 juta ton.

Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Rita Susilawati, menyatakan bahwa pemerintah tetap terbuka untuk melakukan diskusi dengan pelaku usaha mengenai evaluasi harga batubara acuan (HBA) agar tetap berada dalam posisi yang kompetitif di pasar. "Ekspor batubara merupakan urusan business-to-business yang berada di luar intervensi pemerintah, tetapi kami akan terus memantau dinamika yang ada di pasar," papar Rita.

Lebih jauh, Rita menekankan bahwa pemerintah mendukung diversifikasi pasar ekspor melalui berbagai cara seperti kerja sama bilateral, promosi perdagangan, hingga penyediaan data pasar global. "Ekspor dan impor sebenarnya melibatkan sejumlah kementerian dan lembaga lain, seperti Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perhubungan, yang berperan dalam proses perizinan, negosiasi dagang, serta promosi di luar negeri," jelasnya. 

Dengan demikian, langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah dan pelaku industri menjadi krusial dalam menghadapi tantangan ini, terutama di tengah ketidakpastian permintaan dari negara-negara mitra utama.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved