Sumber foto: Google

Cermin Kejujuran di 100 Hari Kerja Kepala Daerah: Antara Data Agregat dan Realitas Lapangan

Tanggal: 4 Jun 2025 10:28 wib.
Tampang.com | Jakarta – Menyambut 100 hari masa kerja para kepala daerah yang dilantik pada 20 Februari 2025 lalu, sorotan tertuju pada temuan Survei Penilaian Integritas (SPI) pendidikan 2024 yang dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan indeks integritas pendidikan di angka 69,50, sektor ini berada pada Level Korektif menurut klasifikasi resmi KPK. Angka ini mengkhawatirkan, hanya selangkah lagi menuju level "Tidak Baik" (0-55,00). Angka 69,50 mungkin terlihat biasa, namun jika dicermati, ia menunjukkan bahwa kita berada di titik rawan kehilangan masa depan kejujuran. Indeks yang nyaris menyentuh level buruk ini bukan hanya gambaran kejujuran di berbagai jenjang pendidikan, tetapi juga mencerminkan sistem yang abai terhadap nilai kejujuran.

Jurang antara Narasi Keberhasilan dan Realitas Lapangan

Ironisnya, di tengah indeks integritas yang cenderung buruk dan indeks persepsi antikorupsi yang terus menurun, kita justru semakin mahir dalam mengemas narasi keberhasilan. Klaim program pembangunan yang mencapai 90 persen sasaran, pengentasan ribuan warga dari kemiskinan hingga 80 persen, atau peningkatan kesejahteraan masyarakat sebesar 95 persen, seringkali terpampang gemerlap di atas kertas. Namun, realitas berbeda ditemukan saat kita menelusuri gang-gang sempit kota, desa-desa terpencil, atau berbincang dengan guru honorer yang gajinya tak cukup untuk kebutuhan dasar. Di sana, yang ditemukan bukanlah angka-angka muluk, melainkan "kesabaran" yang mendalam. Terlihat jelas jurang menganga antara "data pencitraan" dan "data kenyataan". Ketika grafik keberhasilan disusun demi tampil memukau, kita bukan sedang mengelola negara, melainkan sedang menggelar pertunjukan.

Mengakui Kekurangan sebagai Fondasi Kemajuan

Memang, tidak ada bangsa yang sepenuhnya jujur; itu adalah fakta yang tak terbantahkan. Namun, bangsa-bangsa besar di dunia bangkit dari reruntuhan dengan keberanian mengakui kekurangan secara terbuka. Jepang, misalnya, tidak bangkit dari kehancuran perang dengan memoles statistik, melainkan dengan kesadaran akan kegagalan dan tekad kuat untuk memperbaikinya, menjadikannya negara maju seperti sekarang. Kita harus mulai beralih dari narasi keberhasilan menuju narasi menghadapi kekurangan. Para pejabat, di setiap level birokrasi, perlu berani mengatakan, "Ya, program ini belum berhasil karena hambatannya adalah A, B, dan C." Kita harus menempatkan angka kebenaran di atas kepentingan, sekalipun secara politis mungkin tidak relevan.

Bahaya Memuja Data Agregat

Ada kecenderungan kolektif kita untuk "memuja" data agregat, bukan data terurai. Kita terpukau oleh angka-angka besar yang mengkilap, menjadikannya panggung glamor untuk mempertontonkan keberhasilan. Padahal, di balik tirainya, banyak cerita tak tersuarakan dan luka yang tak terdata. Data agregat menjadi primadona setiap kali melaporkan capaian program, menyebut 95 persen target tercapai, indeks kebahagiaan meningkat, atau angka kemiskinan menurun signifikan. Namun, kita enggan bertanya: 95 persen itu siapa? Kebahagiaan yang dirasakan siapa? Kemiskinan menurun di daerah mana? Yang ditampilkan hanyalah satu wajah besar, sementara wajah-wajah kecil di baliknya memucat.

Melihat Realitas di Balik Rerata

Kita lebih senang membicarakan berapa banyak masyarakat yang telah terbantu daripada siapa yang masih tertinggal. Kita gembira program pendidikan berhasil menjangkau 87 persen anak usia sekolah, namun abai terhadap 13 persen yang tertinggal dan mengapa mereka gagal terjangkau. Kita sering mengabaikan kegagalan karena yang diangkat hanya angka rerata. Padahal, rerata tidak pernah mewakili siapa pun. Ibaratnya, seseorang berdiri dengan satu kaki di atas api dan kaki lainnya di atas es; secara rata-rata, suhu tubuhnya ideal, namun ia sedang menghadapi kematian. Data rerata memang penting untuk keputusan makro, tetapi kita harus berhenti "memujanya" dan mulai menghormati kenyataan.

Kejujuran: Sahabat Pembangunan Sejati

Kegemaran pada data agregat bukan hanya soal metode pelaporan, tetapi juga mencerminkan karakter kejujuran. Ini bukan sekadar menutupi kekurangan diri, melainkan menolak melihatnya. Kita lebih takut pada kesan buruk daripada kondisi buruk itu sendiri, sehingga menciptakan narasi keberhasilan skala makro meskipun realitas mikronya berbanding terbalik. Meski tanpa niat buruk, "maniak agregat" adalah bentuk ketidakjujuran sistemik yang mengesampingkan kejujuran demi kenyamanan. Kejujuran bukan sekadar berkata benar, tetapi juga keberanian untuk menampilkan data yang tidak menggembirakan; keberanian menyajikan data yang membukakan mata, bukan yang "menyilaukan mata". Sudah saatnya kita menyadari bahwa pembangunan bukanlah pertunjukan dan data bukan panggung sandiwara. Kita harus sadar pada data kejujuran dan berbicara dengan kejujuran data.

 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved