BMKG Prediksi Kemarau 2025: Kapan Puncaknya dan Wilayah yang Paling Terdampak?
Tanggal: 23 Mar 2025 15:46 wib.
Tampang.com | Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) baru-baru ini merilis perkiraan terkait musim kemarau yang akan melanda Indonesia pada tahun 2025. Menurut data yang dihimpun, musim kemarau akan dimulai secara bertahap antara bulan April hingga Juni, mencakup sekitar 402 zona musim (ZOM) atau setara dengan 57,7% dari keseluruhan wilayah Indonesia. Pemantauan yang dilakukan oleh BMKG ini mengikuti perubahan iklim yang lebih kompleks, termasuk transisi dari fase La Nina menuju fase netral yang diperkirakan akan terjadi pada Maret 2025.
Musim kemarau awalnya diprediksi akan lebih dahulu menyapa kawasan tenggara Indonesia, termasuk sebagian wilayah Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Daerah ini diperkirakan akan mengalami musim kemarau lebih awal, mulai bulan Maret 2025.
Seiring dengan berjalannya waktu, wilayah-wilayah lain yang terletak di bagian barat, seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera, akan mulai memasuki musim kering. Pernyataan ini menunjukkan dinamika iklim yang tidak hanya bergantung pada suhu permukaan laut tetapi juga dipengaruhi oleh fenomena atmosfer lainnya.
Sementara itu, wilayah timur Indonesia, seperti Maluku dan Papua, diprediksi baru akan merasakan dampak musim kemarau pada bulan Agustus 2025. Perbedaan waktu masuknya musim kemarau di berbagai daerah ini mengindikasikan perlunya kesiapan yang berbeda-beda bagi para petani dan masyarakat yang bergantung pada curah hujan untuk aktivitas sehari-hari mereka.
Melihat perkiraan keseluruhan, BMKG mencatat sebanyak 409 ZOM atau sekitar 59% wilayah Indonesia akan memasuki musim kemarau dalam waktu yang sama atau bahkan sedikit lebih lambat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini menegaskan pentingnya pemantauan terus-menerus agar masyarakat dapat mempersiapkan diri dengan baik terhadap potensi dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim ini.
Lebih jauh, BMKG juga mengungkapkan bahwa mayoritas zona musim yang diprediksi, sekitar 60%, akan mengalami curah hujan dengan intensitas yang normal. Ini menggambarkan harapan bagi daerah yang sangat bergantung pada pertanian dan kegiatan agrikultur lainnya. Dengan intensitas hujan yang normal, diharapkan hasil panen dapat terjaga, dan kebutuhan pangan masyarakat bisa terpenuhi.
Namun, tidak semua wilayah akan memiliki kondisi yang sama. Terdapat sebagian kecil ZOM, yakni sekitar 26%, yang akan mengalami musim kemarau dengan sifat di atas normal. Daerah-daerah ini, termasuk sebagian kecil Aceh, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, NTB, NTT, beberapa titik di Sulawesi, serta bagian tengah Papua, diperkirakan akan mendapatkan akumulasi curah hujan musiman yang lebih tinggi dari biasanya. Dengan peningkatan hujan ini, peluang untuk tanaman pertanian menjadi lebih subur menjadi lebih besar, meskipun tetap ada risiko terhadap genangan atau banjir di beberapa area.
Di sisi lain, terdapat sekitar 14% ZOM yang diprediksikan akan mengalami musim kemarau dengan sifat bawah normal atau lebih kering dari kondisi biasanya. Wilayah-wilayah ini termasuk Sumatera Utara, sebagian kecil Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan bagian selatan Papua. Kondisi ini tentu akan menjadi tantangan tersendiri bagi para petani dan stakeholder yang terlibat dalam sektor agrikultur.
Puncak musim kemarau pada tahun 2025 diprediksi akan terjadi antara bulan Juni hingga Agustus di sebagian besar ZOM di Indonesia. BMKG memproyeksikan bahwa puncak ini bisa saja terjadi lebih awal dari biasanya di hampir seluruh wilayah Indonesia. Dengan hal ini, masyarakat diharapkan untuk lebih memahami pola iklim yang berubah, sehingga mereka bisa beradaptasi dengan lebih baik.
Durasi musim kemarau juga beragam, di mana sebagian besar wilayah Indonesia diprediksi akan mengalami durasi yang lebih pendek dibanding tahun-tahun sebelumnya. Untuk wilayah yang mengalami durasi paling singkat, diperkirakan akan berlangsung selama 6 dasarian (setara dengan dua bulan) yang terjadi di sebagian Sumatera dan Kalimantan. Sebaliknya, durasi terpanjang diperkirakan mencapai 24 dasarian (8 bulan) di sebagian Sulawesi. Variasi ini menunjukkan bahwa setiap wilayah harus memiliki strategi mitigasi yang tepat.
Fenomena iklim yang terjadi saat ini juga berkaitan erat dengan fenomena El Niño-Southern Oscillation (ENSO). Peralihan dari La Nina menuju fase netral merupakan satu dari sekian banyak faktor yang memengaruhi pola curah hujan dan iklim di Indonesia. La Nina, yang ditandai dengan suhu permukaan laut yang lebih dingin dari normal di Samudra Pasifik, sering berhasil meningkatkan curah hujan di banyak wilayah. Dengan berakhirnya fase La Nina, disertai dengan adanya pergeseran ke fase netral, akan ada perubahan signifikan yang akan mempengaruhi pola distribusi hujan.
Kondisi ini perlu menjadi perhatian khusus bagi para pemangku kebijakan dan masyarakat luas, agar dapat beradaptasi dengan segala kemungkinan dampak yang akan ditimbulkan. Oleh karena itu, keterlibatan seluruh elemen masyarakat dalam memahami iklim dan cuaca sangat penting agar bisa menciptakan solusi yang berkelanjutan dalam menghadapi fenomena-fenomena iklim yang selalu berubah.