Sumber foto: Google

Bisakah China Menjadi Mediator Damai di Konflik Gaza dan Ukraina?

Tanggal: 5 Agu 2024 10:44 wib.
Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, belakangan ini sangat sibuk dengan dua konflik besar yang tengah terjadi di dunia, yaitu perang di Gaza dan Ukraina.

Pada awal pekan ini, Wang mengumpulkan 14 faksi Palestina untuk melakukan pembicaraan rekonsiliasi di Beijing, termasuk dua faksi yang sedang dalam konflik sengit, yaitu Hamas dan Fatah. Sehari setelahnya, pada Rabu (24/7/2024), dia bertemu dengan Menteri Luar Negeri Ukraina, Dmytro Kuleba. Pertemuan tersebut merupakan yang pertama kalinya China menjadi tuan rumah bagi pejabat tinggi Ukraina sejak invasi Rusia dua setengah tahun sebelumnya.

Upaya diplomasi tersebut terjadi seiring dengan Beijing berupaya untuk menunjukkan dirinya sebagai kekuatan geopolitik di dunia yang semakin terpecah akibat dua konflik tersebut. Dalam pertemuan dengan Kuleba, Wang menegaskan bahwa Beijing mendukung segala upaya yang dapat berkontribusi pada perdamaian. China ingin memposisikan dirinya sebagai perantara perdamaian yang "netral" dalam konflik tersebut, meskipun pada saat yang sama China terus meningkatkan hubungannya dengan Rusia.

Pada akhir pertemuan dengan faksi-faksi Palestina sehari sebelumnya, Wang memberikan pujian terhadap penandatanganan sebuah deklarasi yang "mengakhiri perpecahan". Dia menyatakan bahwa deklarasi tersebut merupakan "momen bersejarah dalam perjuangan pembebasan Palestina." Meskipun kesepakatan tersebut dinilai skeptis di Timur Tengah karena kesepakatan serupa sebelumnya telah gagal.

Beberapa pakar menilai bahwa bagi pemerintah China, diplomasi Wang menawarkan peluang untuk menampilkan sudut pandang yang diinginkan: memposisikan China sebagai pemain yang produktif dalam konflik yang sulit diselesaikan – dan sebagai perantara alternatif selain Amerika Serikat (AS). Ambisi China adalah untuk "diakui dan diterima sebagai pemimpin global". China berupaya mencapai hal itu dengan mendapatkan dukungan dari negara-negara Selatan (Global South), yang jumlah penduduk dan negaranya lebih banyak dibandingkan dengan negara-negara Barat yang demokratis.

Namun, keterbatasan Beijing juga terlihat. Mereka berupaya membangun solusi di Gaza tanpa memiliki pengaruh besar di kawasan tersebut, sambil juga menyerukan perdamaian di Ukraina sambil menjaga hubungan erat dengan Rusia.

Kuleba adalah pejabat tinggi Ukraina pertama yang mengunjungi China setelah hampir 29 bulan perang Rusia melawan Ukraina. Sebaliknya, Presiden Rusia, Vladimir Putin, sudah dua kali berkunjung ke China dan sejumlah pejabat Kremlin lainnya telah melakukan banyak perjalanan ke China dalam periode yang sama.

Para pemimpin Eropa dan Ukraina sebelumnya telah berharap pada China untuk menggunakan hubungannya dengan Rusia guna mendorong perdamaian dengan syarat-syarat yang dapat diterima Kyiv, yang dengan tegas menyerukan penarikan pasukan Rusia dan kembali ke perbatasan yang diakui secara internasional. Namun para pejabat China tidak memberikan indikasi akan melakukan hal itu dan malah mendorong upaya perdamaian dengan mempertimbangkan masalah keamanan "semua negara".

Kunjungan Kuleba terjadi saat Beijing mendapat tekanan yang meningkat dari negara-negara Barat atas hubungannya dengan Rusia dan tuduhan bahwa Beijing membantu upaya perang Moskwa dengan menyediakan barang-barang yang dapat digunakan untuk tujuan sipil dan militer. Beijing menyangkal tuduhan tersebut dan mengatakan Barat justru memicu konflik dengan memasok senjata untuk Ukraina.

Retorika Barat juga semakin keras. Para pemimpin NATO awal bulan ini mengatakan bahwa Beijing "dengan jelas" mendukung perang Rusia melalui dukungan terhadap basis industri pertahanan Rusia. Zelensky bulan lalu menuduh China memperpanjang perang yang menghancurkan negaranya. Pernyataan Zelensky itu merujuk ke sejumlah kebijakan China yang menguntungkan Rusia.

Kuleba tiba di kota Guangzhou di China selatan pada Selasa. Dia mengatakan, akan ada perundingan yang "ekstensif, rinci, substantif" yang berfokus pada satu isu, yaitu perdamaian di Ukraina. "Kami akan berbicara, akan mencari titik temu. Kita perlu menghindari persaingan antara sejumlah rencana perdamaian," katanya dalam postingan video di media sosial. Ia merujuk pada perbedaan yang besar antara usulan "penyelesaian politik" versi Beijing untuk perang itu dengan formula perdamaian versi Ukraina sendiri.

Pernyataan resmi Beijing dan Kyiv setelah pembicaraan Wang-Kuleba pada Rabu tidak memberikan indikasi bahwa Menlu Ukraina itu telah meyakinkan Beijing untuk mendukung visi perdamaian Kyiv. Sebaliknya, Wang kembali menekankan pernyataan Beijing sebelumnya dan seruannya untuk "penyelesaian politik".

Kuleba, pada gilirannya, menegaskan kembali posisi negaranya yang siap melakukan perundingan damai "ketika Rusia siap bernegosiasi dengan itikad baik". Namun dia menekankan, Kyiv tidak melihat kesiapan seperti itu dari pihak Moskwa.

Sejumlah pengamat mengatakan, pada suatu saat Beijing dapat memainkan peran dalam perundingan di masa depan, tetapi kemungkinan besar tidak akan mengubah hubungannya dengan Rusia.

Presiden China, Xi Jinping, secara luas dianggap telah memandang negara tetangga di utara China itu sebagai mitra penting dalam melawan tatanan dunia yang dia anggap telah didominasi secara tidak adil oleh Barat, dan tidak ingin Rusia menderita kekalahan besar.

Ada dua alasan mengapa para pemimpin China memutuskan untuk bertemu Kuleba saat ini. Pertama untuk menunjukkan bahwa mereka berusaha "mendorong perdamaian" di tengah kritik Barat terhadap hubungan Beijing dengan Rusia. Kedua, terkait dengan pemilihan umum AS pada November mendatang. Menurut pengamat, Kyiv mewaspadai pemilu AS yang bisa mengakibatkan penurunan dukungan AS terhadap pertahanan Ukraina jika kandidat Partai Republik, Donald Trump, menang.

Global Times, media yang berafiliasi dengan pemerintah China, juga menyoroti komentar para pakar yang menyatakan bahwa Ukraina mungkin mulai menyadari upaya untuk mengisolasi Rusia secara internasional telah gagal. Karena, negara-negara seperti India dan Brasil, keduanya merupakan negara penting di Global South, tidak mendukung sebuah komunike yang merupakan hasil pertemuan perdamaian yang didukung Ukraina pada Juni lalu, yang tidak melibatkan Rusia. Beijing mengatakan, pertemuan semacam itu harus mencakup Kyiv dan Moskwa.

Sementara upaya untuk menjadi platform rekonsiliasi Palestina terjadi bersamaan dengan upaya China menampilkan diri sebagai pemimpin bagi suara-suara dari Global South dalam mendukung pembentukan negara Palestina dan mengecam perang Israel serta dampak kemanusiaan yang sangat besar, sambil mengkritik dukungan AS terhadap Israel.

Wang mengatakan, perundingan rekonsiliasi antara faksi-faksi Palestina pada Selasa lalu berakhir dengan kesepakatan "tentang pemerintahan pasca-perang Gaza dan pembentukan pemerintahan rekonsiliasi nasional sementara." 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved