BI Izinkan Bank Tarik Utang Luar Negeri Lebih Banyak, per April 2025 Sudah Rp554,25 Triliun

Tanggal: 27 Mei 2025 11:38 wib.
Bank Indonesia (BI) telah mengeluarkan kebijakan baru yang mendorong lembaga perbankan di Indonesia untuk meningkatkan pengambilan utang luar negeri (ULN). Kebijakan ini diambil sebagai respons terhadap keterbatasan sumber pendanaan dari dalam negeri yang cukup menantang bagi perbankan. Dalam rangka mendukung penyaluran kredit yang lebih luas, BI meningkatkan batas maksimal Rasio Pendanaan Luar Negeri Bank (RPLN) dari 30% menjadi 35% dari total modal bank.

Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial (DKMP) Bank Indonesia, Solikin M. Juhro, menjelaskan bahwa tantangan ini menuntut langkah kebijakan yang tepat. Menurutnya, dengan meningkatkan batas RPLN, likuiditas perbankan juga akan diperkuat, yang pada gilirannya akan membantu bank dalam memperoleh pendanaan yang diperlukan. "Kami harus memperkuat likuiditas dan kemampuan perbankan untuk mendapatkan funding," tegasnya dalam acara Taklimat Media di Gedung Thamrin BI pada Senin, 26 Mei 2025.

Kebijakan ini diharapkan dapat membantu bank yang berjuang untuk bersaing dalam menarik Dana Pihak Ketiga (DPK), baik dalam kategori biasa maupun yang menawarkan suku bunga khusus. Menurut Solikin, meskipun peminjaman dari luar negeri bukanlah hal baru bagi bank, opsi ini perlu didorong lebih lanjut untuk mendukung kebutuhan likuiditas dalam jangka pendek.

Sebagian besar pinjaman luar negeri yang diambil oleh bank memiliki jangka waktu antara satu hingga tiga tahun, yang dirancang untuk menutupi kebutuhan pendanaan yang tidak sejalan dengan gaji dan realisasi penyaluran kredit. Di samping itu, pinjaman ini dipilih karena biasanya menawarkan stabilitas dalam ketersediaan pendanaan dan suku bunga yang lebih menarik.

Tak hanya RPLN yang mengalami revisi, BI juga melonggarkan kebijakan likuiditas lainnya dengan menurunkan Rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebanyak 100 basis poin (bps) menjadi 4% bagi Bank Umum Konvensional (BUK). Fleksibilitas ini juga berlaku untuk Bank Umum Syariah (BUS), yang PLM-nya turun dari 3,5% menjadi 2,5%. Solikin meyakini bahwa penurunan 1% pada PLM dapat membuka peluang tambahan untuk kredit sebesar Rp78,45 triliun.

Menurut laporan terbaru yang dipublikasikan dalam buku Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) edisi Mei 2025, posisi utang luar negeri perbankan hingga akhir Maret 2025 mencatatkan angka signifikan. Total utang luar negeri bank mencapai US$33,46 miliar, setara dengan Rp554,25 triliun—mengacu pada kurs JISDOR yang berlaku pada akhir Maret 2025 yakni Rp16.566 per dolar AS. Jumlah ini adalah bagian dari total utang luar negeri Indonesia yang mencapai US$195,5 miliar atau sekitar Rp3.238,7 triliun.

Meskipun secara nilai dalam dolar AS posisi utang luar negeri bank tidak menunjukkan perubahan dibandingkan Maret 2024, namun ada kenaikan setelah mengalami penurunan pada bulan April tahun lalu. Jika dilihat lebih dalam, mayoritas utang luar negeri bank berasal dari bank swasta nasional yang mencatatkan US$20,45 miliar atau sekitar Rp338,74 triliun.

Selanjutnya, bank yang dimiliki negara atau BUMN memiliki utang luar negeri sebesar US$7,55 miliar—setara dengan Rp124,99 triliun. Di sisi lain, bank swasta asing mencatatkan utang valas sebesar US$330 juta atau Rp5,5 triliun, sementara bank swasta campuran memiliki ULN sebesar US$5,13 miliar, yang setara dengan Rp85,05 triliun. 

Dengan langkah ini, diharapkan sektor perbankan Indonesia dapat lebih proaktif dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan dan pada akhirnya mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved