Bahlil Curiga Ada Unsur Kesengajaan Supaya RI Impor BBM Terus
Tanggal: 26 Mei 2025 23:04 wib.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, secara terbuka menyampaikan kecurigaannya mengenai dugaan tindakan mafia di balik importasi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diduga sengaja menguntungkan pihak tertentu di Indonesia. Kecurigaan Bahlil bukanlah isu sembarangan. Ia merujuk pada berbagai anomali dalam tata niaga BBM di Indonesia, yang saat ini semakin bergantung pada impor, sementara produksi minyak domestik kian menurun setiap tahunnya.
Untuk memberikan gambaran, pada akhir era Orde Baru tahun 1996-1997, lifting minyak Indonesia masih berada di kisaran 1.500.000 hingga 1.600.000 barel per hari, sedangkan konsumsi domestik hanya mencapai sekitar 500.000 barel per hari. Pada saat itu, Indonesia berstatus sebagai eksportir minyak, mampu mengekspor sekitar 1.000.000 barel setiap harinya. Bahlil menggambarkan masa itu sebagai masa keemasan migas Indonesia, di mana kontribusi sektor energi terhadap pendapatan negara mencapai 40–45 persen.
Namun, setelah kejatuhan Soeharto dan dampak krisis moneter 1998, produksi minyak domestik Indonesia merosot drastis, dan dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia beralih status menjadi net importir. Inilah yang membuat Bahlil mempertanyakan, apakah penurunan lifting minyak ini disebabkan oleh ketiadaan sumber daya alam yang memadai, ataukah ada skenario yang disengaja untuk memperkuat ketergantungan pada impor.
Bahlil menegaskan bahwa kesengajaan itu terlihat jelas. Ia menjelaskan kepada publik, “Saya percaya, demi Allah, ini ada unsur kesengajaan, by design,” menegaskan dugaan konspirasi antara pejabat dan pelaku usaha yang berusaha mengendalikan kondisi ini untuk keuntungan pribadi.
Bahlil kemudian menelusuri kapasitas produksi minyak Indonesia, dan menemukan fakta mengejutkan: Indonesia memiliki hampir 40.000 sumur minyak, namun hanya sekitar 20.000 sumur yang masih produktif. Seluruh situasi ini menjadi semakin membingungkan dan memperkuat dugaannya akan adanya masalah mendasar di sektor migas nasional.
Mengapa Indonesia tetap mengimpor BBM? PT Pertamina (Persero) menjelaskan bahwa banyak kilang minyak yang ada di Indonesia kini sudah berumur tua dan tidak efisien. Sejak lama, tidak ada tambahan pembangunan kilang baru di dalam negeri, menyebabkan banyak minyak mentah dari sumur-sumur yang ada tidak dapat diolah dengan efektif.
Akibatnya, Pertamina hanya mampu mengolah sekitar 3 persen dari total jenis minyak mentah dunia. Itu berarti, sebagian besar kebutuhan BBM harus dipenuhi melalui impor, terutama dari Singapura. Meski Singapura tidak memiliki ladang minyak, negara ini menjadi salah satu produsen minyak terbesar karena memiliki banyak kilang yang memiliki kapasitas tinggi.
Singapura memiliki kapasitas kilang sebesar 1,4 juta barel per hari, yang memungkinkan negara ini mengolah minyak dari berbagai sumber di Asia Tenggara dan Timur Tengah. Sebagai perbandingan, Indonesia yang memiliki populasi sekitar 260 juta, mengkonsumsi BBM sebanyak 1,4 juta barel per hari, sementara kapasitas pengolahan kilang Pertamina hanya sebesar 1,1 juta barel per hari. Kesenjangan kapasitas ini semakin memperparah keadaan dan berdampak pada neraca perdagangan Indonesia.
Data dari Energy Information Administration (IEA) menyebutkan bahwa Singapura merupakan negara pengekspor minyak terbesar ketiga di dunia, dengan sebagian besar ekspor tersebut diarahkan ke Indonesia, Malaysia, dan China. Ketergantungan ini tentu menimbulkan berbagai permasalahan bagi ekonomi nasional dan mengundang kecurigaan mengenai pola penguasaan dalam industri migas Indonesia. Ketika berbagai faktor tersebut digabungkan, situasi ini semakin menimbulkan tanda tanya besar mengenai arah kebijakan energi di tanah air.
Kondisi ini mengungkap betapa pentingnya menjadi waspada dan kritis terhadap kebijakan di sektor energi untuk memastikan kepentingan nasional tetap terjaga. Bahlil terus berupaya menelusuri dan mendorong tindakan yang lebih transparan serta efektif dalam mengelola sumber daya alam yang sangat berharga bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.