Sumber foto: Canva

Bagaimana Media Sosial Mempengaruhi Cara Orang Berdemo?

Tanggal: 1 Sep 2025 14:06 wib.
Sejak awal 2010-an, gelombang unjuk rasa di berbagai belahan dunia menunjukkan satu kesamaan signifikan: peran sentral media sosial. Dari Arab Spring hingga gerakan-gerakan terbaru yang memperjuangkan keadilan sosial, platform digital telah mengubah dinamika dan taktik demonstrasi secara fundamental. Pergeseran ini tidak hanya terjadi pada skala dan kecepatan mobilisasi, tetapi juga pada cara pesan disampaikan, bagaimana solidaritas dibangun, dan tantangan baru yang harus dihadapi. Media sosial telah menjadi megafon baru bagi para aktivis, membuka babak baru dalam sejarah aktivisme dan protes.

Mobilisasi Cepat dan Skala Luas

Salah satu perubahan paling mencolok yang dibawa media sosial adalah kemampuan untuk memobilisasi massa dengan sangat cepat. Di masa lalu, mengorganisir sebuah demonstrasi besar membutuhkan waktu berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu melalui selebaran, rapat tatap muka, dan komunikasi dari mulut ke mulut. Kini, informasi tentang lokasi, waktu, dan tujuan protes bisa menyebar ke ribuan bahkan jutaan orang hanya dalam hitungan menit melalui Twitter, Facebook, atau WhatsApp.

Kemampuan viral ini memungkinkan para aktivis untuk merespons suatu kejadian secara instan, mengubah ketidakpuasan publik menjadi aksi nyata secara kolektif. Pesan yang kuat, video singkat, atau tagar yang relevan bisa dengan mudah menarik perhatian dan mendorong partisipasi dari orang-orang yang sebelumnya tidak terlibat dalam politik. Ini memungkinkan gerakan-gerakan tanpa pemimpin formal untuk muncul dan berkembang pesat, seperti yang terlihat pada banyak gerakan protes global yang terorganisir secara organik.

Narasi dan Framing Pesan yang Berubah

Media sosial memberikan kekuasaan kepada masyarakat sipil untuk mengendalikan narasi mereka sendiri. Dulu, liputan media utama seringkali menjadi satu-satunya sumber informasi, yang terkadang bisa memuat bias atau perspektif yang berbeda dari demonstran. Kini, setiap orang yang memiliki gawai bisa menjadi jurnalis warga. Mereka bisa langsung mengunggah foto, video, dan cerita dari lokasi protes, memberikan perspektif real-time yang otentik.

Kemampuan ini memungkinkan para demonstran untuk menyajikan narasi dan framing pesan mereka sendiri, menantang narasi resmi pemerintah atau media. Tagar menjadi alat ampuh untuk menyatukan pesan dan memastikan isu-isu penting mendapatkan perhatian global. Misalnya, sebuah tagar sederhana bisa merangkum tuntutan utama sebuah gerakan dan menjadi simbol perlawanan yang dikenali di seluruh dunia. Penggunaan meme, infografis, dan video pendek juga efektif dalam menyederhanakan pesan yang kompleks dan membuatnya lebih mudah disebarkan.

Membangun Solidaritas dan Jaringan Lintas Batas

Jarak geografis bukan lagi hambatan untuk membangun solidaritas. Media sosial memungkinkan para aktivis dan pendukung dari berbagai negara untuk saling terhubung, berbagi taktik, dan memberikan dukungan moral. Protes yang terjadi di satu negara bisa menginspirasi dan mendapatkan dukungan dari orang-orang di belahan dunia lain. Misalnya, solidaritas global bisa dengan mudah terbentuk ketika ada video atau foto yang menyentuh hati dari sebuah protes.

Jejaring yang terjalin secara digital ini tidak hanya berfungsi sebagai dukungan moral, tetapi juga sebagai sumber daya. Para aktivis bisa belajar dari pengalaman gerakan lain, mengadopsi taktik yang berhasil, dan bahkan mengumpulkan dana atau sumber daya lain secara daring. Ini menjadikan gerakan protes menjadi lebih global dan terkoneksi, menunjukkan bahwa perjuangan untuk keadilan bisa melintasi batas-batas negara.

Tantangan dan Risiko Baru

Di balik segala keunggulannya, penggunaan media sosial untuk berdemo juga membawa tantangan dan risiko baru. Salah satu yang paling utama adalah risiko pengawasan dari pihak berwajib. Setiap unggahan, lokasi, atau komunikasi digital bisa dilacak, membahayakan identitas dan keselamatan para demonstran. Pemerintah bisa menggunakan data ini untuk mengidentifikasi pemimpin atau peserta protes, dan mengambil tindakan hukum atau represi.

Selain itu, media sosial juga rentan terhadap penyebaran informasi palsu atau disinformasi. Berita bohong, rumor, atau narasi yang memecah belah bisa dengan mudah menyebar dan merusak kredibilitas sebuah gerakan. Tidak adanya filter yang ketat membuat para aktivis harus berjuang keras untuk memastikan kebenaran informasi yang mereka sebarkan. Perdebatan internal yang seharusnya terjadi secara privat bisa terekspos ke publik, yang bisa memicu perpecahan dan merusak persatuan gerakan.

Tantangan lainnya adalah fenomena aktivisme slacktivism, di mana orang-orang merasa sudah berkontribusi hanya dengan "like" atau "share" sebuah konten, tanpa benar-benar turun ke jalan atau melakukan tindakan nyata. Ini bisa menciptakan ilusi dukungan yang besar, tanpa adanya partisipasi fisik yang diperlukan untuk membuat perubahan signifikan.

Masa Depan Aktivisme Digital

Media sosial telah mengubah wajah demonstrasi secara permanen. Ia telah memberikan suara kepada kelompok-kelompok yang sebelumnya tidak terdengar, memfasilitasi mobilisasi massal yang belum pernah ada sebelumnya, dan membangun jaringan solidaritas global. Hal ini juga memaksa para aktivis untuk lebih strategis dan berhati-hati dalam menggunakan platform digital. 
Copyright © Tampang.com
All rights reserved