Asap Kembali Menyelimuti Langit, Kebakaran Hutan Mengancam Kesehatan dan Masa Depan!
Tanggal: 13 Mei 2025 23:41 wib.
Tampang.com | Asap pekat kembali menyelimuti sejumlah wilayah di Sumatera dan Kalimantan akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi sejak akhir April lalu. Ribuan hektare lahan terbakar, kualitas udara memburuk, dan ribuan warga mengalami gangguan pernapasan.
Situasi ini seolah menjadi rutinitas tahunan yang tak kunjung diatasi tuntas. Padahal, Indonesia pernah menuai pujian karena berhasil menekan karhutla pada 2020-2021. Kini, masalah yang sama kembali muncul, memunculkan pertanyaan besar: apakah komitmen lingkungan hanya slogan?
Minimnya Deteksi Dini dan Lemahnya Penegakan Hukum
Menurut laporan WALHI, salah satu penyebab utama adalah lambatnya deteksi dini titik api dan lemahnya penegakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan pembakar lahan. Meski banyak bukti satelit dan laporan warga, hanya sedikit kasus yang berujung sanksi tegas.
“Setiap tahun kami melihat pola yang sama: pembiaran, lalu respons lambat saat api sudah besar,” kata Dwi Sawung, Manajer Kampanye WALHI.
Dampak Asap: Dari ISPA hingga Pendidikan Terganggu
Selain dampak ekologis, kabut asap juga berdampak langsung pada kehidupan masyarakat. Di Riau dan Kalimantan Barat, ratusan sekolah terpaksa meliburkan kegiatan belajar karena kualitas udara berada di level tidak sehat.
“Anak saya sudah dua hari tidak sekolah, dan kami harus pakai masker bahkan di dalam rumah,” ujar Lina, warga Pontianak.
Pemerintah Diminta Ambil Langkah Sistemik
Aktivis lingkungan dan akademisi menilai penanganan karhutla masih bersifat tambal sulam. Butuh sistem pencegahan terintegrasi yang melibatkan masyarakat adat, pemetaan lahan berbasis risiko, dan pembatasan ekspansi perkebunan di wilayah rawan.
“Kita tidak bisa terus-menerus padamkan api setelah kejadian. Yang harus diperbaiki adalah sistem tata kelola lahannya,” ujar Dr. Hadi Saputra, pakar kehutanan IPB.
Akar Masalah: Izin Perusahaan dan Tata Kelola Rusak
Peta konsesi menunjukkan bahwa sebagian besar titik kebakaran berada di wilayah perkebunan sawit dan HTI (Hutan Tanaman Industri). Namun, pendekatan hukum yang permisif dan transparansi data yang minim membuat publik sulit ikut mengawasi.
Jika pola ini terus dibiarkan, Indonesia tak hanya merusak ekosistemnya, tapi juga memperburuk krisis iklim global.
Saatnya Melihat Karhutla Sebagai Kegagalan Kebijakan
Kebakaran hutan bukan sekadar bencana alam, tapi indikasi dari kegagalan regulasi, pengawasan, dan keberpihakan kebijakan. Pemerintah perlu lebih dari sekadar mengimbau dan memadamkan. Solusi jangka panjang harus dibangun sejak sekarang.