Sumber foto: Canva

Apa Penyebab Pernikahan Dini?

Tanggal: 14 Jul 2025 12:39 wib.
Pernikahan dini, yaitu ikatan perkawinan yang melibatkan individu di bawah usia dewasa yang sah secara hukum, masih menjadi isu kompleks dan persisten di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Fenomena ini bukan sekadar keputusan pribadi sepasang kekasih, melainkan cerminan dari beragam faktor sosial, ekonomi, budaya, dan edukasi yang saling terkait. Memahami akar penyebabnya sangat penting untuk merumuskan solusi yang tepat guna, karena dampak pernikahan dini tidak hanya dirasakan oleh individu yang terlibat, melainkan juga oleh keluarga dan masyarakat secara luas.

Faktor Ekonomi: Jerat Kemiskinan dan Beban Keluarga

Salah satu pemicu utama pernikahan dini adalah kondisi ekonomi yang sulit. Di banyak komunitas, kemiskinan menjadi alasan kuat orang tua menikahkan anak-anaknya yang masih di bawah umur. Menikahkan anak perempuan seringkali dianggap sebagai cara untuk mengurangi beban ekonomi keluarga, mengurangi jumlah mulut yang harus diberi makan, atau bahkan sebagai jalan keluar dari hutang. Selain itu, ada pula pandangan bahwa pernikahan dapat memberikan "keamanan finansial" bagi anak perempuan, terutama jika mereka dinikahkan dengan pria yang dianggap lebih mapan, sekalipun usia mempelai perempuan masih sangat muda.

Bagi keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan, pendidikan seringkali tidak menjadi prioritas utama. Ketika biaya sekolah terasa membebani, pernikahan dianggap sebagai alternatif yang lebih realistis dibandingkan melanjutkan pendidikan yang tidak menjanjikan pekerjaan instan. Ini menciptakan siklus kemiskinan yang sulit diputus, di mana pendidikan terhenti dan peluang masa depan terbatas akibat pernikahan yang terlalu cepat.

Faktor Sosial dan Budaya: Tradisi dan Norma yang Mengakar

Tradisi dan norma sosial yang mengakar kuat di masyarakat tertentu juga berperan besar dalam melanggengkan pernikahan dini. Di beberapa daerah, ada kepercayaan bahwa anak perempuan harus segera menikah begitu mencapai pubertas atau ketika dirasa "cukup umur" oleh keluarga, terlepas dari usia hukum yang berlaku. Keperawanan seringkali menjadi hal yang sangat dijaga, dan pernikahan dini dianggap sebagai cara untuk melindungi kehormatan keluarga dan menghindari fitnah atau stigma sosial jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kehamilan di luar nikah.

Tekanan dari masyarakat, keluarga besar, atau bahkan teman sebaya juga bisa mempengaruhi. Ada anggapan bahwa jika seorang gadis tidak segera menikah pada usia tertentu, ia akan dicap "perawan tua" atau sulit mendapatkan jodoh. Faktor budaya seperti perjodohan juga masih sering terjadi, di mana keputusan menikah bukan sepenuhnya ada di tangan anak, melainkan diatur oleh orang tua berdasarkan tradisi atau kesepakatan antar keluarga. Ritual dan kepercayaan adat terkadang juga mendorong praktik ini, membuatnya sulit diubah tanpa pemahaman yang mendalam tentang konteks lokal.

Minimnya Akses dan Pentingnya Pendidikan

Rendahnya tingkat pendidikan dan minimnya akses terhadap informasi yang akurat menjadi faktor krusial lainnya. Anak-anak yang putus sekolah, terutama perempuan, memiliki risiko lebih tinggi untuk dinikahkan dini. Ketika pendidikan tidak lagi menjadi bagian dari rutinitas mereka, peluang untuk mengembangkan diri, mendapatkan keterampilan, dan memiliki visi masa depan yang lebih luas menjadi terbatas. Sekolah bukan hanya tempat belajar akademik, tetapi juga wadah untuk berinteraksi sosial, mendapatkan informasi kesehatan reproduksi, dan membangun kesadaran akan hak-hak.

Kurangnya pemahaman tentang dampak negatif pernikahan dini — baik bagi kesehatan fisik dan mental, kesempatan pendidikan, maupun kesejahteraan keluarga di masa depan — juga memperparah masalah ini. Banyak yang tidak menyadari bahwa pernikahan di usia muda seringkali berujung pada masalah kesehatan, perceraian, atau kesulitan finansial. Informasi yang valid dan mudah diakses mengenai kesehatan reproduksi dan hak-hak anak masih belum merata di semua lapisan masyarakat, terutama di daerah-daerah terpencil.

Kehamilan Tidak Direncanakan: Solusi Darurat yang Menyesatkan

Faktor lain yang sering memicu pernikahan dini adalah kehamilan yang tidak direncanakan atau tidak diinginkan. Ketika seorang remaja perempuan hamil di luar nikah, pernikahan seringkali dianggap sebagai satu-satunya solusi "darurat" untuk menutupi aib keluarga dan memberikan status legal bagi anak yang akan lahir. Meskipun niatnya mungkin baik dari sisi moral keluarga, keputusan ini seringkali diambil tanpa pertimbangan matang tentang kesiapan mental, emosional, dan finansial kedua belah pihak yang masih sangat muda.

Kehamilan di usia remaja memiliki risiko kesehatan yang jauh lebih tinggi bagi ibu maupun bayi. Selain itu, pasangan muda yang menikah karena hamil cenderung belum memiliki kematangan emosi untuk membangun rumah tangga dan menghadapi tantangan hidup berumah tangga, sehingga rentan terhadap perceraian atau kekerasan dalam rumah tangga. Ini menunjukkan bahwa pernikahan dini sebagai "solusi" dari kehamilan yang tidak direncanakan justru bisa menciptakan masalah baru yang lebih kompleks.

Pernikahan dini adalah isu multi-dimensi yang membutuhkan pendekatan holistik. Mengatasi kemiskinan, mengubah norma budaya yang merugikan, meningkatkan akses dan kualitas pendidikan, serta memberikan edukasi yang komprehensif tentang kesehatan reproduksi.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved