Anwar UAnwar Usman, Kode Etik, Pelanggaran, Sanksi, Etika Profesionaldman Terbukti Langgar Kode Etik, Ini Sanksi Terbarunya!
Tanggal: 31 Mar 2024 16:13 wib.
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman, kini mendapat sanksi dari Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) karena diketahui melanggar kode etik.
Menurut Ketua MKMK, I Dewa Gede Palguna, dalam sidang yang dilansir Detikcom pada Jumat (29/3/2024), Anwar Usman terbukti melanggar prinsip kepantasan dan kesopanan hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam prinsip kepantasan dan kesopanan butir penerapan angka 1 dan 2 Sapta Karsa Hutama. Akibatnya, Anwar Usman dijatuhi sanksi berupa teguran tertulis.
Dalam pembacaan putusan atas laporan nomor 01/MKMK/L/03/2024 yang dilaporkan Zico Leonardo, Palguna didampingi oleh Hakim Yuliandri dan Ridwan Mansyur. Laporan tersebut terkait ucapan Anwar Usman saat konferensi pers menanggapi pencopotan dirinya dari jabatan Ketua MK pada November 2023.
Pelaporan ini sebenarnya sudah pernah diajukan saat Jimly Asshidiqqie menjabat sebagai Ketua MKMK. Namun, saat itu pelaporan tersebut tidak diterima karena MKMK masih ad hoc khusus mengadili aduan etik dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Sebelumnya, Anwar Usman dicopot dari jabatan Ketua MK menjadi hakim konstitusi karena terbukti melanggar etik terkait putusan yang mengubah syarat usia calon presiden dan wakil presiden. Setelah dicopot, Anwar Usman menggelar jumpa pers dan merasa dirinya dizalimi.
Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga etika dan integritas dalam menjalankan jabatan, terutama di institusi peradilan. Sebagai seorang hakim, Anwar Usman seharusnya menjadi contoh dalam menjunjung tinggi martabat profesi dan mematuhi aturan serta kode etik yang berlaku. Dengan adanya sanksi terhadap Anwar Usman, hal ini dapat menjadi pembelajaran bagi seluruh hakim dan aparat penegak hukum untuk tetap berada dalam koridor etika yang telah ditetapkan.
Pembelajaran dari kasus ini seharusnya juga menjadi perhatian serius bagi institusi peradilan untuk terus meningkatkan mekanisme pengawasan internal guna mencegah terjadinya pelanggaran etik yang dapat merusak integritas lembaga peradilan tersebut. Kepercayaan masyarakat terhadap keadilan juga sangat bergantung pada perilaku etis dan profesionalisme para hakim dalam menjalankan tugasnya.
Selain itu, sanksi yang diberikan haruslah sejalan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan. Dalam hal ini, ditegur secara tertulis mungkin dianggap terlalu ringan mengingat pelanggaran yang dilakukan tergolong serius dan berdampak pada citra lembaga peradilan. Maka dari itu, perlu dipertimbangkan apakah sanksi tersebut sudah sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan atau perlu diberlakukan sanksi yang lebih tegas guna memberikan efek jera pada pelaku pelanggaran etik.
Kasus Anwar Usman juga mengingatkan pentingnya kemandirian Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang merdeka. Kebebasan berpendapat dan bersuara dalam batas-batas yang etis dan tidak merugikan pihak lain sangatlah penting, namun juga harus diimbangi dengan kedisiplinan dan ketaatan terhadap aturan yang berlaku.
Selain itu, keterbukaan dan akuntabilitas dari setiap tindakan yang dilakukan oleh para hakim juga menjadi hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan dalam menjaga citra lembaga peradilan. Transparansi akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap keadilan yang ditegakkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian, kasus Anwar Usman tidak hanya menjadi sorotan terhadap perilaku para hakim, namun juga menjadi momentum untuk memperbaiki sistem pengawasan, meningkatkan kedisiplinan, serta menegakkan etika dan integritas di lembaga peradilan. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan dan meneguhkan kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang bersih, independen, dan dapat dipercaya.