Analisis Gaya Politik Dedi Mulyadi: Tiga "Kon" Pendongkrak Popularitas
Tanggal: 10 Jul 2025 15:14 wib.
Jakarta, Tampang.com – Sosok Dedi Mulyadi, politisi yang dikenal dengan gaya "nyablak" dan seringkali memicu perdebatan, terus menjadi perbincangan publik. Dari adu mulut dengan siswi SMA hingga kritik pedas terhadap Pemprov DKI dan DPRD Jabar, sepak terjangnya selalu menarik perhatian. Uniknya, Dedi Mulyadi sendiri aktif menyebarluaskan momen-momen konfliktual dan kontroversial ini melalui akun media sosialnya, yang kemudian memberinya julukan "Gubernur Konten".
Artikel ini menganalisis tiga strategi utama yang digunakan Dedi Mulyadi untuk mendongkrak karier politiknya, yang disebut sebagai tiga "Kon": Konflik, Kontroversi, dan Konten.
1. Konflik: Membangun Citra Pelindung Rakyat Gaya komunikasi Dedi Mulyadi yang konfliktual merupakan perwujudan dari logika populis, yaitu pembelahan antara "kami" (rakyat kebanyakan) melawan "mereka" (elit korup atau kelompok lain). Dedi Mulyadi menampilkan dirinya sebagai pelindung rakyat Jawa Barat dari "musuh-musuh" seperti oknum ormas preman, penambang ilegal, remaja berandalan, serta elit yang lambat dalam bekerja.
Contohnya, keberaniannya turun langsung ke kampung preman, mengirim anak nakal ke barak militer, membongkar tambang ilegal, dan bahkan mengkritik DPRD secara terbuka karena dianggap memperlambat kinerjanya dalam menangani banjir. Determinasi Dedi Mulyadi untuk berkonflik ini membangun citra dirinya sebagai sosok yang melindungi rakyat dari ancaman musuh bersama dan memimpin mereka melampaui keterbatasan sistem birokratis. Jenama "Bapak Aing" menjadi simbol dari citra ini.
Secara psikologi politik, gaya konfliktual ini menyentuh aspek emosional masyarakat. Perasaan negatif seperti marah dan cemas terhadap kondisi hidup divalidasi oleh Dedi Mulyadi, dan kemudian diubah menjadi harapan serta optimisme akan perbaikan di masa depan. Namun, keberhasilan konflik ini juga didukung oleh citra Dedi Mulyadi sebagai "orang biasa" atau anti-elit, yang dibangun melalui bahasa, gaya bicara, gerak tubuh, dan cara berpakaian yang merakyat.
2. Kontroversi: Menjaga Perhatian Publik (Shock Advertising) Kontroversi yang sering diciptakan Dedi Mulyadi bukanlah ketidaksengajaan, melainkan strategi yang disengaja untuk menjaga kesadaran publik (brand awareness) terhadap dirinya. Ini mirip dengan konsep "Pengiklanan Mengguncang (Shock Advertising)" dalam ilmu pemasaran, di mana norma sosial sengaja dilanggar untuk menarik perhatian audiens secara masif.
Contoh paling jelas adalah insiden Dedi Mulyadi menghardik siswi SMA Aura Cinta dengan kalimat "Kalau miskin, jangan kebanyakan gaya!". Ucapan ini menyimpang dari norma kesopanan di Indonesia yang cenderung berbudaya konteks tinggi, sehingga memicu perdebatan luas dan menjadi viral di media sosial.
Selain itu, kebijakan kontroversialnya seperti vasektomi sebagai syarat penerima bansos dan pendidikan anak nakal oleh militer juga dianggap melanggar norma HAM dan agama, yang kemudian berhasil menggalang perhatian publik secara intens. Kontroversi ini tidak hanya meningkatkan atensi publik, tetapi juga memperkuat loyalitas pendukungnya. Ketika pendukung Dedi Mulyadi terpapar kritik terhadapnya, mereka cenderung mempertebal solidaritas dan loyalitas, bahkan sampai membuat konten balasan.
Dalam kasus kritik terhadap Pemprov DKI, Dedi Mulyadi menggunakan metode "Pengiklanan Rivalitas Jenama (Brand Campaign Rivalry)", di mana ia secara terbuka menyerang "jenama rival" (Gubernur Pramono Anung). Konflik terbuka ini berhasil mengarahkan atensi publik kepadanya dan mengonsolidasikan pendukungnya.
3. Konten: Memperkuat Dampak Konflik dan Kontroversi Media sosial menjadi platform krusial bagi Dedi Mulyadi untuk memaksimalkan dampak dari gaya komunikasinya yang konfliktual dan kontroversial. Melalui akun-akun media sosialnya, Dedi Mulyadi secara rajin mempublikasikan video-video yang menampilkan dirinya sedang bertikai atau melakukan tindakan yang mengguncang.
Empat cara media sosial mendukung strategi Dedi Mulyadi:
Pembelahan "Kami" vs. "Mereka": Karakteristik homofili media sosial (filter bubble dan echo chamber) memperlebar pembelahan antara pendukung Dedi Mulyadi dan "musuh-musuh"nya, membuat pendukung sulit mengakses informasi yang membantah asumsi mereka.
Personalisasi Politik: Media sosial memungkinkan Dedi Mulyadi menonjolkan kebajikan pribadinya sebagai pengayom rakyat. Sebagian besar videonya menampilkan dirinya menghardik preman, menangis karena pengrusakan alam, atau memberikan bantuan, yang semuanya memperkuat citra "Bapak Aing".
Koneksi Langsung dengan Audiens: Media sosial memfasilitasi komunikasi langsung antara Dedi Mulyadi dan rakyat, memperkuat persepsi bahwa ia adalah bagian dari "kami".
Peningkatan Visibilitas Kontroversi: Lanskap media sosial Indonesia yang masif memungkinkan gaya komunikasi Dedi Mulyadi yang kontroversial lebih menonjol dan menjangkau audiens yang sangat luas.
Singkatnya, Dedi Mulyadi secara cerdas memanfaatkan konflik, kontroversi, dan konten di media sosial sebagai strategi terintegrasi untuk membangun citra populis, menjaga relevansi di mata publik, dan mengonsolidasikan basis pendukungnya dalam arena politik.