Sumber foto: pinterest

All Eyes on Papua Menggema di Media Sosial,Ada apa sebenarnya?

Tanggal: 4 Jun 2024 17:17 wib.
Selepas All Eyes On Rafah jadi trending di media sosial (medsos), kini warganet banyak yang mengunggah poster dan tagar All Eyes On Papua. Bantu suarakan aspirasi suku adat Papua mendapatkan haknya kembali. Seruan untuk memperhatikan kondisi Papua menggema di media sosial, khususnya di Twitter atau X dan sedang menjadi trending topic sampai saat ini.

Tepat pada tanggal 31 Mei 2024, disebutkan bahwa hak-hak masyarakat Papua tengah direnggut paksa oleh penguasa.  poster bertuliskan “All Eyes on Papua” itu viral dan sudah dilihat lebih dari 1,1 juta kali dan disukai lebih dari 47 ribu kali.

Ada berbagai keterangan dalam tiap poster yang beredar bahkan ada yang ditulis dalam bahasa Inggris. Salah satu poster memperlihatkan sebuah kondisi hutan tandus di atas tanah kering. Ada juga ilustrasi orang yang menggambarkan masyarakat adat Papua yang berada di antara pohon-pohon kering tersebut.

Dalam poster itu juga dituliskan warganet diminta menggaungkan tagar All Eyes on Papua sebagai bentuk dukungan terhadap hak rakyat Papua atas penyerobotan hutan adat yang akan dijadikan perkebunan kelapa sawit oleh penguasa yang serakah. Pada poster lainnya tertulis bahwa hutan di Papua tepatnya di Boven Digul Papua yang luasnya 36 ribu hektar atau lebih dari separuh luas Jakarta akan dibabat habis dan dibangun perkebunan sawit oleh PT Indo Asiana Lestari.

Selain berpotensi menghilangkan hutan alam, proyek perkebunan sawit ini juga menghasilkan emisi 25 juta ton karbon dioksida. Jumlah emisi ini sama dengan menyumbang 5 persen dari tingkat emisi karbon tahun 2030. Dampaknya bukan hanya dirasakan oleh seluruh warga Papua, tetapi berdampak ke seluruh dunia.

Masyarakat adat Awyu dan Moi jadi pihak yang paling terdampak imbas pembabatan hutan tersebut. Hutan adalah akar kehidupan yang menyediakan segala kebutuhan sehari-hari bagi rakyat Awyu dan Moi, mulai dari sumber pangan, air, dan hasil hutan lainnya.

Masyarakat Maga Woro dan Suku Awyu mengajukan gugatan terkait izin lingkungan kebun sawit PT IAL dengan didampingi Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua.

Proses gugatannya kini sedang bergulir di Mahkamah Agung (MA). Ini menjadi harapan terakhir bagi masyarakat adat Marga Woro dan suku Awyu untuk mempertahankan hutan yang telah menjadi bagian dari kehidupan mereka secara turun temurun.

Dilansir dari Antara, 8 Juni 2022, Suku Moi adalah salah satu suku dari dataran Papua yang tinggal di daerah pesisir utara. Suku Moi kini banyak mendiami sebagian daerah Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Suku Moi terbagi menjadi tujuh sub suku, di antaranya adalah Suku Moi Kelim, Moi Abun That, Moi Abun Jhi, Moi Salkma, Moi Klabra, Moi Lemas, dan Moi Maya.

Suku Moi sejak dulu menerapkan budaya Egek, yaitu budaya adat tentang menjaga alam dengan mengambil secukupnya dari alam, termasuk dalam penggunaan mesin yang tidak ramah lingkungan. Maka dari itu, Suku Moi lebih senang menggunakan perahu adatnya dibandingkan dengan perahu bermesin.

Egek, atau Sasi dalam budaya Maluku, merupakan budaya menjaga kelestarian lingkungan hidup dengan tidak mengambil hasil-hasil alam tertentu dalam waktu tertentu sesuai dengan perjanjian masyarakat sudah lama diterapkan oleh Suku Moi. Esensi dari budaya Egek adalah mengambil secukupnya dari alam dan tidak mengeksploitasi kekayaan alam secara berlebihan.

Tidak hanya itu, sebagian Masyarakat Hukum Adat (MHA) Suku Moi terutama Moi Kelim yang mendiami Desa Malaumkarta dan Desa Suatolo juga telah menerapkan sumber energi terbarukan dalam penggunaan energi listrik.

Sebelum tahun 2016 silam, MHA Suku Moi Kelim belum tersentuh aliran listrik. Namun setelahnya, masyarakat berinisiatif untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) yang ramah lingkungan.

Berkat kegigihan MHA Suku Moi dalam mempertahankan Egek sebagai upaya pelestarian lingkungan hidup, Suku Moi diakui sebagai kelompok MHA oleh Pemerintah Kabupaten Sorong pada 2017.

Oleh karena itu, MHA Suku Moi berhak atas wilayah kelola yang dilindungi oleh hukum seluas sekitar 4.000 hektar di perairan dan 16.000 hektare di daratan. Biasanya, MHA Suku Moi hanya melaksanakan Buka Egek dengan ritual tradisional khas Suku Moi seperti dengan tarian adat yang bernama tarian a'len.

Pada 2023, MHA Suku Moi melaksanakan Buka Egek sekaligus menggelar acara Festival Egek pada 5-8 Juni 2023. Acara tersebut mendapat dukungan penuh dari pemerintah baik pemerintah daerah maupun berbagai kementerian serta beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menangani isu pelestarian lingkungan hidup.

Dari Festival Egek setidaknya dapat ditarik pelajaran bahwa budaya Egek yang menjadi kearifan lokal Suku Moi bisa menjadi contoh bagi masyarakat pada umumnya agar tidak serakah dalam memanfaatkan kekayaan alam. Alam harus dijaga kelestariannya, bukan dieksploitasi tanpa memikirkan keberlanjutannya.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved