Alasan DPRD Bandung Barat Keukeuh Tetap Anggarkan Tablet Rp 1 Miliar
Tanggal: 19 Jun 2025 23:04 wib.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bandung Barat (KBB) menegaskan komitmennya untuk melaksanakan pengadaan tablet berharga Rp 1 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), walaupun hal ini mendapatkan penolakan yang cukup kuat dari masyarakat. Rencana pengadaan ini memicu kontroversi dan kritik tajam, namun para wakil rakyat tidak menunjukkan tanda-tanda akan membatalkan proyek tersebut.
Sebaliknya, mereka justru mengusulkan agar spesifikasi tablet yang akan dibeli ditingkatkan guna mendukung kinerja mereka secara optimal. Ketua DPRD Bandung Barat, Muhammad Mahdi, menyatakan bahwa peningkatan spesifikasi perangkat sangat penting agar tablet tersebut benar-benar dapat digunakan untuk menunjang aktivitas dewan. “Kami minta dinaikkan spek kalau speknya tidak sesuai. Kan percuma kalau tidak support kegiatan dewan, buat apa dipaksakan. Kan sayang juga,” ujar Mahdi dalam konferensi pers.
Sebelumnya, anggota dewan ini pernah menggunakan tablet pada periode 2019, tetapi karena spesifikasi yang ketinggalan zaman, kinerja perangkat tersebut menjadi tidak efisien. Mahdi menegaskan betapa pentingnya untuk mendapatkan perangkat dengan spesifikasi yang lebih mutakhir. Menurutnya, seharusnya tablet yang dibeli memiliki penyimpanan minimal 520 GB, atau bahkan lebih idealnya 1 Terabyte, karena jika merujuk pada standar tahun 2019, penyimpanan hard disk sebesar 128 GB sudah sangat umum.
Pengadaan tablet untuk 50 anggota dewan ini diperkirakan akan menghabiskan anggaran Rp 1 miliar, yang apabila dibagi, berarti satu tablet untuk setiap anggota dewan memiliki nilai sekitar Rp 20 juta. Namun, karena adanya potongan pajak dan biaya penyediaan barang lainnya, harga seluruhnya kemungkinan akan lebih rendah. Mahdi menjelaskan, “Kami enggak masalah mereknya apa. Yang penting nilai gunanya. Misalnya punya memori besar untuk menyimpan data serta chipset unggul agar tak lemot. Ya paling-paling harga Rp 17 juta untuk satu unit.”
Dia juga menyatakan bahwa ia meragukan bahwa angka pengadaan tablet tersebut sesuai dengan harapan awalnya. Spekulasi mengenai tablet dengan kapasitas penyimpanan yang lebih rendah, yaitu 128 GB, diklaim sebagai anggaran yang kurang memadai dan mampu berdampak negatif terhadap kualitas kinerja dewan. “Saya dengar untuk pengadaan tablet tahun ini awal itu 128 GB, tetapi kami tolak. Apalagi kalau yang 128 GB itu setelah dicek paling mahal kan cuma 10 juta, sedangkan yang sekarang per unit Rp 17 juta,” tambahnya.
Menanggapi protes masyarakat terkait anggaran tablet ini, Mahdi berpendapat bahwa kritik tersebut muncul karena ketidaktahuan publik mengenai tujuan pengadaan ini, yang menurutnya adalah untuk efisiensi jangka panjang. Menurutnya, dengan memanfaatkan tablet, dewan tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk menggandakan berkas yang biasanya menghabiskan banyak anggaran.
“Intinya kan judul kami efisiensi. Itu yang harus dipahami,” tegas Mahdi. Ia menambahkan bahwa proses fotokopi berulang kali untuk berkas-berkas penting untuk 50 anggota DPRD sangat merugikan dan menguras anggaran. “Kalau dihitung-hitung, lima tahun fotokopi bisa sampai 50 juta,” ujarnya, menandakan bahwa kebutuhan tablet ini memiliki dasar ekonomi yang kuat.
Seiring dengan berjalannya diskusi ini, tetap menarik untuk disimak bagaimana reaksi masyarakat dan pengaruh anggaran semacam ini terhadap kepercayaan publik terhadap institusi legislatif di daerah. Walaupun DPRD Bandung Barat tetap bersikukuh melanjutkan rencana mereka, publik tetap berhak memberikan sorotan dan persetujuan terhadap penggunaan dana publik.