2,2 Juta Ton Biomassa untuk PLTU demi Target Net Zero Emission 2060
Tanggal: 5 Agu 2024 14:22 wib.
PT Perusahaan Listrik Negara Energi Primer Indonesia (PLN EPI) telah memperkuat rantai pasok biomassa sebagai strategi utama untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060. Langkah ini diwujudkan melalui program co-firing, di mana batu bara akan digantikan sebagian oleh biomassa dalam pembangkit listrik. Langkah ini diyakini dapat membantu mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencapai target NZE 2060.
Direktur Utama PT PLN EPI, Iwan Agung Firstantara, menekankan bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam penggunaan biomassa. Pada tahun 2021, PLN Group sudah menggunakan 250.000 metrik ton biomassa untuk co-firing PLTU. Tahun berikutnya, jumlah ini meningkat menjadi 500.000 metrik ton, dan pada tahun 2023, mencapai lebih dari 1.000.000 metrik ton. Dalam keterangan resmi pada Jumat (26/7/2024), Iwan menyatakan target mereka untuk tahun ini adalah menyediakan 2,2 juta ton biomassa.
Pemanfaatan biomassa untuk co-firing dan pengganti batu bara telah mendapat dukungan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Direktur Bioenergi, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) di Kementerian ESDM, Edi Wibowo, menegaskan bahwa Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 12 Tahun 2023 tentang “Pemanfaatan Bahan Bakar Biomassa Sebagai Campuran Bahan Bakar Pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap” telah diterbitkan untuk memberikan payung hukum bagi penggunaan biomassa.
Pendukung lainnya datang dari Kementerian Keuangan, dimana Hilman Qomarsono, Kepala Seksi Risiko Pinjaman pada BUMN Direktorat PRKNDJPPR, menyatakan bahwa Menteri Keuangan telah memberikan arahan untuk mendukung pengembangan ekosistem biomassa. Dukungan ini adalah langkah penting dalam mendorong pembangunan infrastruktur dan rantai pasok biomassa yang kuat.
Selain mendukung target NZE dan reduksi emisi, pemanfaatan biomassa juga berdampak positif pada penciptaan lapangan pekerjaan. Nani Hendiarti, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Marves, menegaskan bahwa co-firing dan pemanfaatan biomassa turut meningkatkan penciptaan lapangan pekerjaan. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk menggerakkan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.
Dalam diskusi terkait, perwakilan dari PT Elektrika Konstruksi Nusantara Kalimantan Barat, Novariandi, menjelaskan bahwa pabrik mereka telah terus beroperasi dengan menyerap tenaga kerja lokal untuk mengolah tandan kosong kelapa sawit menjadi pelet tankos, yang kemudian dipasok ke PLTU. Ini adalah contoh nyata bagaimana pemanfaatan biomassa juga dapat menggerakkan ekonomi daerah, terutama daerah dengan potensi biomassa yang besar.
Sementara itu, komisaris dari PT Solusi Hutama Mahesa, Roeswandi, menyoroti bahwa pemanfaatan biomassa memberikan peluang bagi masyarakat sekitar PLTU untuk terlibat dalam bisnis ini. Hal ini telah menggerakkan perekonomian lokal dan memberikan kesempatan kepada masyarakat setempat untuk ikut terlibat dalam industri energi terbarukan.
Widi Pancono, Wakil Ketua IV Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI), menegaskan bahwa pihaknya tidak hanya fokus pada pemanfaatan biomassa, tetapi juga menekankan pentingnya pengelolaan yang berkelanjutan, termasuk penanaman kembali sumber biomassa. Upaya ini memiliki dampak jangka panjang yang positif bagi lingkungan dan keberlanjutan sumber daya biomassa di Indonesia.
Kendati demikian, dalam mempertimbangkan pemanfaatan biomassa, penting juga untuk memperhatikan aspek harga dan ketersediaan sumber energi. Sarjiya, Kepala Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), menyoroti pentingnya pertimbangan harga dalam pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT). Hal ini perlu menjadi fokus saat merencanakan transisi energi Indonesia ke arah yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Dalam konteks ini, Firly Rachmaditya Baskoro dari Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri ITB, menegaskan bahwa sementara biomassa menjadi fokus utama dalam peralihan energi, batu bara masih menjadi sumber energi utama dengan ketersediaan yang memadai untuk lebih dari 50 tahun ke depan. Penyampaian ini memberikan konteks yang penting untuk memahami peran biomassa sebagai bagian dari transisi energi yang berkelanjutan, tetapi juga mengakui praktikalitas serta keberlanjutan sumber energi lainnya seperti batu bara.
Terkait dengan dampak global, Arief Amir Rahman Setiawan dari Sekretariat Indonesian Life Cycle Assessment Network (ILCAN) dan BRIN, menekankan dampak global warming sebagai akibat dari pemanasan global. Hal ini menegaskan urgensi pengembangan energi berkelanjutan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mempercepat penurunan suhu bumi.
Penting untuk dicatat bahwa pemanfaatan biomassa dalam kaitannya dengan program co-firing juga harus diselaraskan dengan arah kebijakan energi nasional. Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), Djoko Siswanto, menekankan bahwa tujuan revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) adalah memberikan arah dalam upaya mewujudkan kebijakan Pengelolaan Energi yang berdasarkan prinsip berkeadilan, berkelanjutan, keterpaduan, efisiensi, produktivitas, dan berwawasan lingkungan guna terciptanya Kemandirian Energi nasional, Ketahanan Energi nasional, dan pemenuhan komitmen Indonesia dalam Dekarbonisasi.
Djoko menambahkan bahwa upaya optimalisasi pemanfaatan biomassa melalui program co-firing dapat menjadi strategi yang efektif dalam mengurangi ketergantungan pada batu bara, serta meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan. Hal ini berdampak positif dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, melindungi lingkungan, dan mempercepat transisi energi menuju sumber energi yang lebih bersih.