2024: Tahun Terpanas dalam Sejarah, BMKG: Kita Sedang Menuju Titik Kritis Krisis Iklim
Tanggal: 9 Mei 2025 06:48 wib.
TAMPANG.COM – Tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah pencatatan suhu global, dengan suhu rata-rata global mencapai 1,55 derajat Celsius lebih tinggi dari tingkat pra-industri. Angka ini melampaui ambang batas yang disepakati dalam Perjanjian Paris untuk menghindari dampak krisis iklim yang lebih parah. Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengungkapkan hal ini dalam pidatonya di Forum Inovasi Climate Smart Indonesia pada Senin (5/5/2025).
Peningkatan Suhu yang Memprihatinkan
Dwikorita menjelaskan bahwa lonjakan suhu ini bukan hanya sekadar fenomena cuaca panas, namun merupakan sinyal bahwa krisis iklim semakin mendekat. “Ini bukan hanya soal cuaca panas. Ini adalah tanda bahwa kita sedang bergerak menuju titik kritis yang bisa mengancam keberlangsungan hidup manusia,” ujarnya.
Perubahan Suhu Terjadi Lebih Cepat dari Era Kepunahan Massal
Peringatan penting datang ketika Dwikorita menegaskan bahwa perubahan suhu yang terjadi saat ini berlangsung jauh lebih cepat dibandingkan dengan perubahan iklim yang menyebabkan kepunahan massal di masa lalu. “Jika kepunahan dinosaurus terjadi akibat perubahan suhu yang berlangsung dalam jutaan tahun, kita sekarang mengalami lonjakan serupa hanya dalam 30 hingga 40 tahun,” jelasnya, mengingatkan pentingnya upaya mitigasi yang lebih serius.
Menurut data BMKG, suhu rata-rata Indonesia juga mencapai rekor tertinggi pada tahun 2024, yaitu 27,52 derajat Celsius, yang menunjukkan tren peningkatan suhu yang terus berlanjut sejak tahun 1981. Hal ini bukanlah sekadar anomali, melainkan bukti nyata dari dampak krisis iklim yang sudah kita alami.
Dampak Krisis Iklim terhadap Kesehatan dan Ekosistem
Perubahan suhu dan pola cuaca ekstrem berdampak besar terhadap berbagai sektor kehidupan, termasuk ekosistem, ketahanan pangan, dan kesehatan masyarakat. Dwikorita menyebutkan bahwa dampak kesehatan yang ditimbulkan antara lain berupa peningkatan penyakit menular, gangguan kesehatan mental, serta risiko malnutrisi. Penyakit berbasis air dan makanan, seperti kolera dan salmonella, serta penyakit akibat gigitan serangga, seperti demam berdarah, semakin meningkat seiring dengan perubahan iklim.
Sistem Peringatan Dini dengan Kecerdasan Buatan
Untuk menghadapinya, BMKG telah mengembangkan sistem peringatan dini multi-bahaya berbasis kecerdasan buatan (AI). Teknologi ini tidak hanya dapat mendeteksi potensi bencana alam seperti gempa dan tsunami, tetapi juga mampu memprediksi lonjakan penyakit yang dipicu oleh perubahan iklim. “Dengan teknologi saat ini, BMKG bisa memprediksi musim hingga enam bulan ke depan dengan akurasi 85 persen,” kata Dwikorita, menambahkan bahwa dengan bantuan AI, prediksi tersebut bisa lebih akurat hingga skala kota, kabupaten, atau bahkan desa.
Menghadapi Musim Kemarau dan Polusi Udara
Dwikorita juga mengingatkan bahwa Indonesia tengah bersiap memasuki musim kemarau, yang biasanya disertai peningkatan suhu dan penurunan kualitas udara. Peningkatan kekeringan dan polusi udara dari partikel halus PM 2.5 menjadi ancaman nyata akibat minimnya curah hujan dan stagnasi pergerakan angin.
Kolaborasi untuk Menghadapi Krisis Iklim
Dwikorita menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam menghadapi krisis iklim yang semakin mendesak. “Kita sedang berpacu dengan waktu. Semakin cepat kita bertindak, semakin besar peluang kita menyelamatkan masyarakat dari dampak paling buruk perubahan iklim. Kolaborasi adalah satu-satunya jalan,” tutupnya.
Dengan adanya kesadaran yang semakin meningkat tentang krisis iklim, diharapkan seluruh pihak, mulai dari pemerintah, lembaga, hingga masyarakat, dapat bersinergi dalam menciptakan solusi yang berkelanjutan untuk mengatasi dampak perubahan iklim yang semakin nyata.
TAMPANG.COM mengimbau pembaca untuk terus mengikuti informasi terkait perubahan iklim dan melakukan tindakan preventif dalam kehidupan sehari-hari untuk mengurangi jejak karbon dan mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan.