WHO Mengecam Krisis Kesehatan di Tepi Barat Palestina
Tanggal: 17 Jun 2024 07:23 wib.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan pernyataan yang memperingatkan tentang meningkatnya krisis kesehatan di Tepi Barat Palestina. Infrastruktur kesehatan di wilayah tersebut terus menjadi sasaran pembatasan, kekerasan, dan serangan dari pihak Israel, yang semakin menghambat akses masyarakat terhadap layanan kesehatan.
Melalui pernyataan yang dikutip oleh AFP, WHO menyerukan perlindungan segera dan aktif terhadap warga sipil serta layanan kesehatan di Tepi Barat. Tingkat kekerasan di Tepi Barat, termasuk di Yerusalem Timur, juga ikut meningkat sejak agresi brutal Israel ke Jalur Gaza berlangsung pada 7 Oktober 2023. Sejak itu, sebanyak 521 warga Tepi Barat tewas, termasuk 126 anak-anak. Para pejabat Palestina bahkan menyatakan bahwa korban tewas di Tepi Barat sebenarnya lebih banyak lagi, dengan setidaknya 545 warga Palestina telah dibunuh oleh pasukan Israel atau warga pendudukan sejak 7 Oktober lalu.
Selain kematian, lebih dari 5.200 orang – di mana 800 di antaranya adalah anak-anak – terluka. Hal ini menambah beban trauma dan perawatan darurat di fasilitas kesehatan yang sudah kewalahan. Menurut WHO, kondisi ini semakin memperburuk situasi kesehatan di Tepi Barat.
Per Sabtu (15/6), lebih dari 37 ribu warga Palestina di Jalur Gaza tewas dan lebih dari 80 ribu orang lainnya terluka akibat agresi Israel sejak 7 Oktober lalu. Sebagian besar korban merupakan anak-anak dan perempuan. Tepi Barat, yang diduduki Israel sejak 1967, telah mengalami lonjakan kekerasan selama lebih dari setahun terakhir, terutama sejak perang Israel-Hamas di Gaza meletus delapan bulan lalu setelah serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober.
Perang tersebut telah menyebabkan fasilitas kesehatan di Jalur Gaza berulang kali diserang. WHO juga mencatat bahwa layanan kesehatan di Tepi Barat juga menghadapi peningkatan serangan. Antara 7 Oktober 2023 hingga 28 Mei 2024, WHO mendokumentasikan 480 serangan serupa di Tepi Barat, termasuk terhadap fasilitas kesehatan dan ambulans, serta penahanan petugas kesehatan dan pasien.
Selain itu, penutupan pos pemeriksaan, peningkatan ketidakamanan, pengepungan, serta penutupan seluruh komunitas membuat pergerakan di Tepi Barat semakin terbatas, sehingga mengakibatkan sulitnya akses terhadap layanan kesehatan. Pasien juga kesulitan untuk mendapatkan perawatan medis di luar Tepi Barat, di mana 44% permintaan untuk pergi ke fasilitas kesehatan di Yerusalem Timur dan Israel ditolak atau ditunda sejak 7 Oktober.