Viral! Perusahaan China Ancam Pecat Karyawan yang Masih Lajang
Tanggal: 26 Feb 2025 20:27 wib.
Sebuah perusahaan bernama Shuntian Chemical Group yang berlokasi di Provinsi Shandong, China timur, baru-baru ini menjadi perbincangan publik karena mengeluarkan kebijakan yang tergolong kontroversial dan tidak biasa. Perusahaan ini mengancam akan memecat karyawan yang masih lajang hingga batas waktu yang telah ditetapkan. Kebijakan ini diperkenalkan pada Januari lalu dan ditujukan untuk mendukung program pemerintah guna meningkatkan angka pernikahan yang telah mengalami penurunan.
Dengan lebih dari 1.200 karyawan, Shuntian Chemical Group mewajibkan semua karyawan yang berstatus lajang—termasuk yang sudah bercerai—dari usia 28 hingga 58 tahun untuk menikah sebelum akhir September tahun ini. Jika mereka tidak memenuhi tenggat waktu tersebut, mereka diharuskan untuk menulis surat kritik diri. Melalui kebijakan ini, perusahaan berupaya mendorong nilai-nilai tradisional China, seperti kesetiaan dan bakti kepada orang tua.
Dalam pengumuman resmi mereka, Shuntian Chemical Group menyampaikan, "Tidak menanggapi seruan pemerintah untuk meningkatkan angka pernikahan adalah tindakan tidak setia. Tidak mendengarkan orang tua bukanlah sebuah bentuk bakti. Memilih untuk tetap melajang juga bukan tindakan yang baik. Apalagi, mengabaikan harapan rekan kerja adalah suatu ketidakadilan." Pernyataan ini jelas mencerminkan tekanan sosial dan budaya yang mengakui pentingnya pernikahan dalam masyarakat Tiongkok.
Didirikan pada tahun 2001, Shuntian Chemical Group kini termasuk dalam jajaran 50 perusahaan teratas di kota Linyi, tempat mereka beroperasi. Namun, kebijakan yang mereka terapkan menuai kritik luas setelah viral di media sosial. Menyusul banyaknya reaksi negatif, Biro Sumber Daya Manusia dan Jaminan Sosial setempat segera melakukan pemeriksaan terhadap kebijakan tersebut pada 13 Februari lalu.
Dalam waktu kurang dari 24 jam setelah kebijakan ini menjadi buah bibir, Shuntian Chemical Group mengumumkan pencabutan aturan mengenai tenggat waktu untuk menikah. Mereka juga menegaskan tidak ada karyawan yang dipecat akibat status pernikahan mereka. Hal ini menunjukkan reaksi cepat dari manajemen untuk memperbaiki citra perusahaan setelah mendapatkan backlash dari masyarakat.
Seorang staf pemerintah menyoroti bahwa pemberitahuan dari perusahaan tersebut melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Kontrak Kerja di China. Ini menjadi pengingat bahwa meski pernikahan dianggap penting dalam budaya Tiongkok, hak individu untuk memilih status pernikahan harus dihormati. Profesor Yan Tian, yang mengajar di Sekolah Hukum Universitas Peking, berpendapat bahwa kebijakan tersebut menyalahi prinsip kebebasan menikah dan oleh karenanya dianggap tidak konstitusional.
Melesetnya angka pernikahan di China menjadi perhatian serius. Data menunjukkan bahwa jumlah pernikahan di negara tersebut mencapai titik terendah baru, dengan hanya 6,1 juta pernikahan pada tahun lalu, mengalami penurunan sekitar 20,5 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang tercatat 7,68 juta. Fenomena ini memicu kekhawatiran tentang masa depan lanskap demografi di negara dengan populasi terpadat di dunia.
Berbanding terbalik dengan angka pernikahan, China mencatat kelahiran baru sebanyak 9,54 juta bayi pada tahun lalu, sebuah kenaikan yang dilaporkan meningkat 520.000 dibandingkan dengan tahun 2023. Kenaikan ini menjadi sorotan meskipun seorang demografer di Lembaga Penelitian Populasi YuWa China, He Yafu, menyatakan bahwa peningkatan tersebut mungkin hanya bersifat sementara dan dipicu oleh tradisi tertentu, di mana banyak keluarga lebih memilih untuk melahirkan anak pada Tahun Naga, yang dianggap membawa keberuntungan.
Kondisi ini menyebabkan beberapa pemerintah setempat merasa perlu untuk memberikan insentif bagi para pemuda agar menikah. Di Provinsi Shanxi, misalnya, terdapat penawaran hadiah sebesar 1.500 yuan (setara dengan Rp 3,3 juta) bagi wanita di bawah 35 tahun dan pria yang menikahi untuk pertama kalinya. Kebijakan menarik ini merupakan bentuk upaya pemerintah untuk merangsang angka pernikahan yang terus menurun dan menghadapi krisis demografis.
Dengan segala dinamika ini, tampak bahwa fenomena menikah di China tidak hanya berkaitan dengan keputusan pribadi, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh norma-norma sosial dan tekanan dari lingkungan. Di masa depan, bagaimana pemerintah dan perusahaan akan menangani isu pernikahan dan kehidupan pribadi karyawan akan menjadi perhatian yang tak kalah menarik untuk dibahas.