Top 5 Berita Global: Elon Musk Mundur dari Pemerintahan Trump hingga Bentrok Perbatasan Thailand-Kamboja
Tanggal: 30 Mei 2025 21:22 wib.
Gaza, Palestina – Harapan akan gencatan senjata di Gaza kembali pupus. Proposal terbaru yang dimediasi oleh Amerika Serikat (AS) dan telah disetujui oleh Israel, kini ditolak oleh Hamas. Penolakan ini memicu reaksi keras dari Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben Gvir, yang mendesak kelanjutan operasi militer dengan kekuatan penuh di wilayah tersebut.
Proposal AS dan Syarat Hamas yang Belum Terpenuhi
Proposal yang diajukan oleh utusan khusus AS, Steve Witkoff, mencakup pembebasan sepuluh sandera yang masih hidup dan 18 sandera yang telah meninggal, serta penghentian sementara serangan selama 60 hari. Meskipun Israel telah menyatakan persetujuannya, rincian mengenai negosiasi untuk mengakhiri perang secara permanen—tuntutan utama Hamas—tidak disebutkan dalam usulan tersebut.
Bassem Naim, anggota biro politik Hamas, menegaskan bahwa kerangka kerja ini tidak menjawab tuntutan mendasar rakyat Palestina. "Kerangka itu berasal dari Israel dan tidak menanggapi tuntutan rakyat kami," ujarnya melalui Facebook. Ia menambahkan bahwa pimpinan Hamas sedang mempelajari proposal ini dengan "penuh tanggung jawab nasional", mengingat apa yang mereka sebut sebagai "genosida" yang dialami rakyat Gaza.
Seorang pejabat senior Hamas menyatakan kesediaan untuk pembebasan sandera dan gencatan senjata 60 hari, dengan tiga syarat utama:
Jaminan dari AS untuk kelanjutan negosiasi menuju gencatan senjata permanen, tanpa melanjutkan perang setelah 60 hari.
Distribusi bantuan kemanusiaan harus melalui saluran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Penarikan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) ke posisi mereka sebelum operasi militer terbaru pada 2 Maret 2025.
Reaksi Keras dan Dinamika Politik Internal Israel
Menanggapi penolakan Hamas, Menteri Ben Gvir melalui Telegram-nya mendesak Perdana Menteri Netanyahu untuk tidak menunda lagi serangan penuh. "Kebingungan, perombakan, dan kelemahan harus dihentikan. Kita sudah kehilangan terlalu banyak kesempatan. Saatnya maju dengan kekuatan penuh, tanpa ragu, untuk menghancurkan dan membunuh Hamas sampai tuntas," tegasnya.
Di sisi lain, Gedung Putih, melalui Sekretaris Pers Karoline Leavitt, mengonfirmasi bahwa proposal yang didukung Israel telah diajukan kepada Hamas dan diskusi masih berlangsung. Ia berharap gencatan senjata segera terwujud untuk memulangkan semua sandera.
Namun, pejabat Hamas mengungkapkan kekecewaan karena versi proposal terbaru yang diterima terasa seperti "dokumen dari Israel", dengan perubahan drastis setelah Witkoff bertemu pejabat Israel Ron Dermer di Washington. "Kami siap memulangkan semua sandera dalam satu hari, asal ada jaminan perang tidak akan berlanjut. Akan tetapi dalam dokumen ini, kami tidak menemukannya. Mereka ingin perang terus berjalan, sedangkan kami ingin menghentikannya," jelas pejabat tersebut.
Dinamika politik internal Israel juga memanas. Menteri Keuangan sayap kanan, Bezalel Smotrich, menentang keras usulan tersebut, menyebutnya "kegilaan belaka". Sementara itu, pemimpin oposisi Yair Lapid justru mendorong Netanyahu untuk segera menyetujui, bahkan menyatakan dukungan jika sayap kanan memilih mundur.
Hamas menyatakan kesiapannya membebaskan setengah dari 20 sandera yang masih hidup, namun khawatir akan risiko tanpa jaminan Israel akan mematuhi kesepakatan. Pejabat Hamas menyebut Witkoff sebagai sosok berpengaruh yang dapat mendorong Israel, namun tetap mengingat pengalaman pahit di masa lalu.
Rancaekek, Indonesia – Kanal berita global pada Kamis (29/5/2025) hingga Jumat (30/5/2025) pagi WIB diramaikan dengan kabar mengejutkan seputar pengunduran diri miliarder Elon Musk dari jajaran penasihat Presiden Donald Trump. Berita ini mendominasi perhatian publik, disusul dengan detail alasan di balik keputusan tersebut. Selain itu, ketegangan di perbatasan Thailand dan Kamboja juga menjadi topik yang banyak dibaca.
Berikut adalah rangkuman berita-berita terpopuler dari kanal Global Kompas.com:
1. Elon Musk Mundur dari Penasihat Presiden Setelah Mengkritik RUU Andalan Trump
Miliarder pendiri Tesla dan SpaceX, Elon Musk, secara resmi mengumumkan pengunduran dirinya dari peran sebagai penasihat pemerintahan Presiden Donald Trump. Keputusan ini datang tak lama setelah Musk secara terbuka mengkritik RUU andalan Trump yang ia sebut sebagai “big beautiful bill”. Dalam unggahan di platform X pada Kamis (29/5/2025), Musk menyatakan rasa terima kasihnya kepada Presiden Trump atas kesempatan untuk membantu mengurangi pemborosan anggaran, sembari menegaskan komitmennya terhadap misi Departemen Efisiensi Pemerintahan AS (DOGE).
2. Misteri di Balik Mundurnya Elon Musk dari Pemerintahan AS: Ada Ketidakcocokan dengan Trump?
Pengumuman pengunduran diri Elon Musk dari posisinya sebagai pegawai pemerintah khusus di Departemen Efisiensi Pemerintahan AS (DOGE) dalam kabinet Donald Trump telah memicu beragam spekulasi. Meskipun Musk mengisyaratkan bahwa pengunduran diri ini sudah direncanakan, momen pengumumannya yang terjadi tepat setelah ia mengkritik kebijakan anggaran utama Trump menimbulkan pertanyaan besar mengenai adanya ketidaksepahaman atau ketidakselarasan visi antara kedua tokoh tersebut.
3. Bentrokan di Perbatasan Thailand-Kamboja, Apa yang Terjadi?
Ketegangan di perbatasan antara Thailand dan Kamboja kembali memanas pada Rabu (28/5/2025), setelah insiden baku tembak yang menewaskan seorang tentara Kamboja. Peristiwa ini terjadi di wilayah sengketa yang terletak antara Provinsi Preah Vihear di Kamboja dan Provinsi Ubon Ratchathani di Thailand. Menurut juru bicara militer Kamboja, Mao Phalla, baku tembak pecah saat pasukan Kamboja sedang melakukan patroli rutin di perbatasan dan pasukan Thailand tiba-tiba melepaskan tembakan.
4. Gedung Putih Umumkan Kepergian Elon Musk dari Pemerintahan Trump Secara Mendadak
Istana Kepresidenan Amerika Serikat (AS), Gedung Putih, membuat pengumuman mengejutkan pada Rabu (28/5/25) malam waktu setempat, menyatakan bahwa proses pelepasan Elon Musk dari jajaran pemerintahan Donald Trump akan segera dimulai. Musk diketahui menjabat sebagai pegawai pemerintah khusus di Departemen Efisiensi Pemerintahan AS (DOGE). Pernyataan singkat dari seorang pejabat Gedung Putih kepada Reuters ini semakin menambah spekulasi seputar alasan di balik keputusan Musk untuk mundur.
5. Pasca-Baku Tembak, Panglima Militer Thailand dan Kamboja Adakan Pertemuan Darurat
Menyusul insiden baku tembak di perbatasan yang menewaskan seorang tentara Kamboja, panglima militer Thailand dan Kamboja dijadwalkan bertemu pada Kamis (29/5/2025). Pertemuan penting ini bertujuan untuk meredakan ketegangan yang kembali mencuat di wilayah sensitif tersebut. Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, sebelumnya telah menekankan pentingnya menahan diri dan mencari solusi damai untuk menyelesaikan konflik perbatasan.