Solidaritas Warga AS ke Pedagang Ritel China: Fenomena Viral TikTok di Tengah Perang Dagang
Tanggal: 28 Apr 2025 06:35 wib.
Fenomena baru yang mencuri perhatian warga Amerika Serikat (AS) menunjukkan solidaritas yang tak terduga terhadap pedagang ritel asal China, terutama setelah terjadinya perang dagang yang sengit antara kedua negara. Dalam beberapa bulan terakhir, pedagang China semakin aktif mempromosikan produk-produk mewah dengan harga yang jauh lebih terjangkau, dan mereka memanfaatkan platform media sosial seperti TikTok untuk meraih konsumen di AS. Melalui video-video yang viral, mereka mengklaim bisa menawarkan barang-barang dengan desain mirip produk-produk bermerek ternama seperti Lululemon, Hermes, dan Birkenstock, namun dengan harga yang jauh lebih murah.
Sejumlah influencer di AS pun turut bergabung dalam mempromosikan video-video dari pedagang China tersebut. Hal ini berimbas pada lonjakan unduhan aplikasi e-commerce China seperti DHGate dan Taobao di AS, yang mencatatkan kenaikan signifikan. Pedagang China menyebut bahwa barang-barang yang mereka jual diproduksi di pabrik-pabrik yang sama dengan barang bermerek terkenal, meskipun tidak ada bukti pasti yang mendukung klaim ini. Warga AS yang khawatir dengan kenaikan harga barang akibat tarif tinggi yang diberlakukan oleh Presiden Donald Trump pada produk impor China, tampaknya mulai beralih membeli barang-barang tersebut melalui e-commerce China.
Berdasarkan data terbaru, aplikasi DHGate langsung melesat masuk dalam jajaran ‘Top 10’ aplikasi yang paling banyak diunduh di toko aplikasi Apple dan Google pada pekan yang lalu. Video-video yang diposting oleh pedagang China di TikTok dan Instagram berhasil menarik jutaan penonton dan ribuan like. Popularitas video-video ini telah menciptakan gelombang simpati terhadap China di tengah sengitnya perang dagang antara kedua negara. Bahkan, beberapa warga AS mulai berpendapat bahwa "China menang dalam perang ini," mengingat kualitas barang yang ditawarkan dengan harga jauh lebih murah.
Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh media sosial dalam membentuk opini publik, terutama di tengah hubungan politik yang semakin tegang antara AS dan China. Media sosial menjadi jembatan langsung bagi pedagang China untuk berhubungan dengan konsumen AS, yang semakin terbuka untuk mencoba alternatif baru akibat tingginya tarif produk impor yang diberlakukan oleh pemerintah AS. Seperti halnya penolakan warga AS terhadap upaya pemblokiran TikTok beberapa waktu lalu, sekarang mereka turut mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan tarif yang menguntungkan China.
Menurut Matt Pearl, Direktur yang berfokus pada isu teknologi di Center for Strategic and International Studies, fenomena ini mencerminkan kemampuan pedagang China dalam menjangkau konsumen AS. Selain itu, ini juga menunjukkan ketergantungan AS terhadap barang-barang yang diproduksi di China, yang bahkan melampaui batas hubungan perdagangan antar negara.
Peningkatan jumlah video yang mendorong warga AS untuk membeli produk langsung dari pabrik China sangat signifikan. Data dari analisis Graphika menunjukkan bahwa video yang mempromosikan produk-produk dari pabrik China meningkat sebanyak 250% pada pekan hingga 13 April 2025. Di platform TikTok, tagar #ChineseFactory (Pabrik China) mengumpulkan lebih dari 29.500 unggahan hingga 23 April 2025, sementara di Instagram jumlahnya mencapai 27.300 unggahan.
Namun, para ahli ritel dan vendor di China mengingatkan bahwa video-video viral ini kemungkinan besar mempromosikan produk-produk palsu. Sejumlah analis menyatakan bahwa pabrik-pabrik yang memproduksi barang-barang mewah seperti Lululemon dan Hermes biasanya telah menandatangani perjanjian kerahasiaan yang ketat. Oleh karena itu, sangat tidak mungkin bagi mereka untuk memproduksi barang-barang yang mirip dengan merek terkenal tanpa merusak hubungan jangka panjang mereka dengan perusahaan-perusahaan besar tersebut.
Seiring dengan semakin populernya video viral dari pedagang China, beberapa ahli menyebutkan bahwa pemerintah China mungkin sengaja membiarkan fenomena ini terjadi. Hal ini dikarenakan ketertarikan mereka yang rendah terhadap kepentingan merek-merek mewah luar negeri, seperti Lululemon atau Chanel. Di sisi lain, beberapa pedagang China juga terdesak untuk segera menutup penjualan mereka sebelum tarif baru yang akan diberlakukan pada 2 Mei 2025.
Para pedagang China yang berjualan produk tiruan ini mengungkapkan bahwa mereka mulai memposting video pada awal 2025 setelah penjualan mereka anjlok akibat dampak tarif yang dikenakan pemerintah Trump. Yu Qiule, pemilik pabrik di Shandong, mengatakan bahwa ia berharap dapat menjangkau lebih banyak konsumen setelah gelombang pembatalan pesanan terjadi di pabriknya akibat tarif yang tinggi. Tidak jauh berbeda, Louis Lv dari Hongye Jewelry Factory di Zhejiang mengungkapkan bahwa mereka mulai mempromosikan produk mereka melalui TikTok pada akhir 2024 setelah penurunan penjualan domestik.
Video yang mengklaim menjual produk tiruan dari merek ternama seperti Hermes Birkin, Birkenstock, dan Lululemon pun semakin viral. Salah satu video menunjukkan seorang pria yang mengklaim memegang tas mirip Hermes Birkin, yang diproduksi dengan bahan serupa namun tanpa logo merek. Meski video ini sudah dihapus oleh TikTok, video serupa terus beredar di media sosial, menarik perhatian konsumen yang tertarik dengan harga produk yang jauh lebih murah.
Namun, Hermes, Birkenstock, dan Lululemon telah membantah klaim-klaim tersebut. Mereka menyatakan bahwa produk-produk mereka hanya diproduksi di Prancis atau Eropa, dan mereka telah meminta TikTok untuk menghapus video yang mempromosikan produk tiruan mereka.
Sementara itu, beberapa warga AS yang merasa tergerak oleh video-video ini beralih menjadi mitra afiliasi e-commerce China, seperti Elizabeth Henzie, yang bekerja sama dengan DHGate. Henzie mengaku bahwa harga-harga yang ditawarkan pedagang China sangat mengejutkan, dan ia merasa tertarik untuk membantu memperkenalkan produk tersebut ke warga AS melalui media sosial.