Rusia Menilai Larangan Atlet Berhijab di Olimpiade Paris sebagai Tindakan Diskriminasi yang Mencolok
Tanggal: 27 Jul 2024 07:39 wib.
Keputusan Prancis yang melarang atlet berhijab pada Olimpiade Paris telah menuai kritik tajam dari pihak Rusia. Maria Zakharova, juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, menyebut larangan tersebut sebagai "tindakan segregasi yang mencolok". Pernyataan ini disampaikannya pada Jumat (26/7/2024), sebagai respons atas pengakuan pelari cepat asal Prancis, Sounkamba Sylla, yang mengatakan bahwa dia dilarang menghadiri upacara pembukaan Olimpiade karena mengenakan jilbab.
Menurut Zakharova, tindakan segregasi yang terang-terangan terjadi di Paris adalah bukti bahwa acara olahraga ini tidak mewakili semangat Olimpiade, bahkan sebelum dimulainya agenda resmi. Ia juga membandingkan larangan tersebut dengan diskriminasi yang dihadapi oleh atlet dan jurnalis Rusia serta Belarusia selama ajang Olimpiade.
Lebih lanjut, Zakharova menilai bahwa tindakan Prancis tersebut melanggar semangat olahraga yang seharusnya bebas dari politik. Ia mengkritik klaim beberapa pejabat Prancis yang menyatakan berjuang untuk keberagaman dan kebebasan berekspresi, namun justru memberlakukan sanksi yang mencolok kepada mereka yang tidak sejalan.
Dengan tegas, juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia menyatakan bahwa Olimpiade Paris kini tidak memiliki alasan untuk dipandang sebagai ajang olahraga yang terbuka, adil, atau demokratis. Semangat keolahragaan yang seharusnya dijunjung tinggi dalam setiap ajang internasional, menurut Rusia, tampaknya terkoyak oleh kebijakan diskriminatif yang diterapkan oleh tuan rumah Olimpiade kali ini.
Olimpiade Musim Panas 2024 sendiri digelar mulai 26 Juli hingga 11 Agustus, sementara Paralimpiade diadakan mulai 28 Agustus hingga 8 September. Meskipun demikian, hingar-bingar prestasi olahraga dan semangat perdamaian yang seharusnya diwujudkan dalam Olimpiade justru tercoreng oleh kontroversi larangan atlet berhijab, yang dianggap sebagai implementasi praktik diskriminatif di tengah ajang olahraga dunia yang seharusnya bersifat inklusif dan menghormati perbedaan budaya dan agama.
Hasil penilaian kontroversi ini menunjukkan bahwa Prancis sebagai tuan rumah Olimpiade harusnya memberikan contoh keberagaman dan merangkul semua atlet dari berbagai latar belakang. Sebagai negara yang vokal dalam menyuarakan kebebasan dan kesetaraan, kebijakan diskriminatif terhadap atlet berhijab jelas bertentangan dengan nilai-nilai universal olahraga, seperti persamaan hak, kesempatan, dan keberagaman.
Pola perilaku semacam ini juga membawa implikasi buruk bagi citra Olimpiade Paris 2024, yang seharusnya menjadi ajang yang mempersatukan seluruh atlet dari penjuru dunia. Seiring bertambahnya beragam tantangan dalam perayaan olahraga internasional, seperti kasus larangan atlet berhijab ini, pengelolaan Olimpiade kedepannya harus menjunjung tinggi prinsip kesetaraan dan keberagaman bagi seluruh pesertanya.
Tindakan Prancis yang dianggap diskriminatif tersebut juga memperkuat argumen bahwa pentingnya pengaturan yang adil dan inklusif bagi seluruh atlet, terutama yang bermuara kepada urusan agama dan budaya. Kesadaran akan kepentingan penghormatan terhadap perbedaan ini seharusnya menjadi pijakan bagi semua pihak, termasuk negara tuan rumah, dalam merealisasikan pelaksanaan Olimpiade yang mempunyai nilai-nilai inklusif.
Kendati demikian, situasi ini diyakini bakal menjadi momentum berharga bagi pengelolaan olahraga internasional dalam memberikan perlindungan hak-hak atlet untuk berkarya tanpa adanya diskriminasi, termasuk dalam hal pakaian atau atribut yang bermuatan nilai agama. Kehormatan dari hasil keberhasilan atlet dan budaya dari masing-masing negara harus disanjung tinggi, dan larangan semacam yang dilakukan Prancis terhadap atlet berhijab jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip ini.
Mencermati kasus ini, Olimpiade Paris 2024 diharapkan dapat memberikan pembelajaran bagi pihak penyelenggara dan juga semua negara-negara peserta dalam menjaga semangat olahraga yang bersifat relatif, inklusif, dan menghormati perbedaan. Pembelajaran dari dampak kontroversi ini hendaknya digunakan sebagai landasan bagi perbaikan ke depannya, sehingga semua atlet dapat berpartisipasi dalam semangat persamaan dan keberagaman yang seharusnya menjadi esensi dari Olimpiade.