Ramai Digaungkan, Laptop Buatan Arab Saudi Bakal Jadi Kenyataan?
Tanggal: 29 Mei 2025 18:33 wib.
Seiring dengan meningkatnya ketegangan perdagangan global yang dipicu oleh kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, label "Made in Saudi Arabia" semakin mencuri perhatian. Terutama setelah pengenaan tarif yang lebih tinggi pada produk impor dari Tiongkok, negara-negara lain di Asia juga terimbas dampaknya. Dalam konteks ini, gagasan untuk menjadikan Arab Saudi sebagai basis manufaktur alternatif mulai mendapat momentum.
Sejarawan dan penulis buku "Saudi, Inc.", Ellen Wald, menyatakan dalam wawancaranya dengan media Middle East Eye bahwa Arab Saudi harus segera mengirimkan delegasi perdagangan ke AS. Tujuan utamanya adalah untuk memahami produk-produk yang sebelumnya dipasok oleh Cina dan untuk menyuarakan keinginan mereka agar produk-produk tersebut dapat diproduksi di dalam negeri.
Selama ini, beberapa negara seperti Cina, Vietnam, dan Thailand telah berfungsi sebagai pusat manufaktur bagi perusahaan-perusahaan besar dunia seperti Apple dan Adidas. Namun, setelah diberlakukannya tarif impor yang lebih tinggi sejak April lalu, banyak perusahaan berusaha untuk mengalihkan lini produksi mereka ke negara-negara dengan tarif yang lebih rendah. Inilah sebabnya, Vietnam dan Thailand kini semakin didorong sebagai destinasi investasi.
Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) tengah berupaya untuk menciptakan pusat industri baru sebagai bagian dari langkah diversifikasi ekonomi. UEA, melalui program Operation 300bn, menargetkan kontribusi industri terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional mencapai 300 miliar dirham per tahun, yang setara dengan sekitar Rp1.200 triliun. Sementara itu, Saudi memiliki visi jangka panjang, yaitu Vision 2030, yang mendorong pertumbuhan sektor industri dan manufaktur lokal.
Dalam beberapa waktu terakhir, terungkap bahwa perusahaan-perusahaan besar seperti Dell dan HP sedang menjajaki peluang untuk membangun pabrik di Arab Saudi. Selain itu, Lenovo juga sedang membangun fasilitas perakitan komputer dan server di wilayah tersebut. Di sisi lain, perusahaan negara ALAT menjalin kerja sama dengan Softbank dari Jepang untuk mengembangkan robot industri dengan dana investasi sekitar USD 100 miliar. Kerajaannya juga tengah mengupayakan negosiasi dengan Foxconn, perusahaan besar penyuplai iPhone, dan Quanta dari Taiwan untuk mengalihkan pabrik mereka ke Saudi.
Menurut David Butter, seorang peneliti di Chatham House, Inggris, saat ini banyak negara berlomba-lomba untuk memanfaatkan dampak tarif tinggi terhadap produk-produk dari Asia guna memasuki pasar AS. Keunggulan Arab Saudi dalam hal sumber daya alam yang melimpah serta pasar domestik yang besar menjadi nilai tambah yang signifikan. Posisinya yang strategis di antara Asia, Eropa, dan Afrika juga menjadi daya tarik tersendiri bagi perusahaan-perusahaan global.
Nader Kabbani, seorang peneliti senior di Middle East Council on Global Affairs, mengungkapkan bahwa pasien dan keunggulan Saudi semakin kuat. Namun, sektor manufaktur di sana masih tergolong terbatas dan sebagaian besar berkaitan dengan industri minyak dan gas. Jika Arab Saudi ingin sukses dalam sektor manufaktur teknologi tinggi, mereka harus bersaing dengan negara-negara seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, hingga Jerman dan Swiss. Di sisi lain, pada sektor teknologi menengah ke bawah, mereka perlu berhadapan dengan negara-negara seperti Indonesia, Vietnam, dan Malaysia, yang sudah lebih berpengalaman dalam industri ini.
Tidak hanya itu, tantangan lain juga muncul dari isu budaya, yang semakin kompleks dengan tingginya jumlah pekerja asing di komunitas konservatif di kawasan Teluk. Ancaman dari pemanasan global yang lebih cepat dibandingkan rata-rata global dan ketegangan geopolitik, seperti antara Iran dan AS, juga menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan.
Frederic Schneider, analis kebijakan, menekankan bahwa walaupun Saudi dan UEA memiliki infrastruktur logistik yang kuat dan skema pajak yang menarik, risiko proyek tetap tinggi. Banyak rencana ambisius yang sebelumnya diungkapkan tidak terwujud di lapangan, termasuk proyek-proyek megah seperti transportasi taksi drone, kereta hyperloop, serta investasi-investasi yang gagal.
Di sisi lain, kelompok aktivis seperti Never Neom menilai sejumlah proyek besar yang diumumkan Saudi lebih bersifat promosi, dengan realisasi yang minim. Mereka menegaskan bahwa keberhasilan Saudi dan UEA dalam pembangunan pabrik tidak selalu berbanding lurus dengan perkembangan positif, terutama jika terjadi perlambatan ekonomi global dan eskalasi perang dagang yang mengakibatkan dampak terhadap bisnis domestik.
Melihat dinamika perdagangan global yang terus berubah, masa depan Arab Saudi sebagai pusat manufaktur alternatif masih menyimpan banyak teka-teki dan tantangan yang harus dihadapi.