Rafale Baru Dibeli India, Sudah Ditembak Jatuh Pakistan: Apa yang Sebenarnya Terjadi di Balik Perang Dua Negara Nuklir Ini?
Tanggal: 10 Mei 2025 13:39 wib.
Ketegangan antara dua negara bersenjata nuklir, India dan Pakistan, kembali meningkat tajam. Konflik bersenjata yang berlangsung selama bertahun-tahun kini memasuki babak baru setelah muncul kabar bahwa Pakistan berhasil menembak jatuh lima pesawat tempur milik India. Yang mengejutkan, tiga di antaranya adalah jet tempur canggih Rafale, yang baru saja dibeli India dengan nilai kontrak fantastis.
Pesawat Rafale sendiri merupakan buatan perusahaan asal Prancis, Dassault Aviation, dan telah dikenal luas sebagai jet tempur multirole generasi 4.5 yang sangat tangguh. Namun sayangnya, pembelian terbaru India terhadap jet ini tampaknya tak langsung memberi keunggulan di medan perang. Insiden jatuhnya tiga Rafale menjadi pukulan besar, baik secara strategis maupun simbolik, terutama karena India baru saja mengucurkan dana sebesar US$7,4 miliar atau sekitar Rp122 triliun untuk mendatangkan 26 unit Rafale.
Dari total pembelian tersebut, India memilih 22 unit versi satu tempat duduk (single-seater) dan 4 unit versi dua tempat duduk (twin-seater), sebagaimana dilaporkan oleh Reuters pada Kamis, 8 Mei 2025. Investasi ini sempat dianggap sebagai langkah besar India untuk memperkuat kekuatan udara nasional dalam menghadapi potensi konflik di kawasan, termasuk dengan Pakistan dan Tiongkok.
Dassault Aviation, selaku pengembang Rafale, menyatakan bahwa pesawat ini dirancang untuk menangani berbagai jenis misi tempur. Mulai dari pengintaian dan pengawasan wilayah udara, misi udara ke darat dengan presisi tinggi, perlindungan wilayah dari ancaman nuklir, hingga operasi antikapal. Fleksibilitas ini membuat Rafale sangat dihargai oleh banyak negara di dunia.
Namun, jatuhnya tiga unit Rafale oleh serangan dari pesawat buatan China, J-10C, yang digunakan oleh angkatan udara Pakistan, menimbulkan banyak tanda tanya. Apakah investasi miliaran dolar tersebut benar-benar memberi keunggulan taktis bagi India? Ataukah ini menjadi bukti bahwa dominasi teknologi tempur tidak hanya ditentukan oleh kecanggihan, tapi juga strategi dan kesiapan medan?
Rafale hadir dalam tiga varian utama:
Rafale C, yang merupakan versi satu kursi untuk operasi dari daratan.
Rafale M, juga satu kursi namun dirancang untuk dioperasikan dari kapal induk.
Rafale B, dengan dua tempat duduk dan berbasis di darat.
Meski memiliki perbedaan fisik minor, ketiga varian ini mengusung sistem misi dan kerangka pesawat yang identik. Yang membedakan biasanya terletak pada struktur bagian bawah pesawat serta keberadaan kait pendarat untuk varian kapal induk.
Jet ini dipersenjatai dengan radar RBE 2 AESA (Active Electronically Scanned Array) yang dikembangkan oleh Thales. Teknologi radar ini memungkinkan pilot untuk mendeteksi, melacak, dan menyerang target dengan akurasi tinggi, bahkan di tengah pertempuran kompleks. Selain itu, Rafale juga mengintegrasikan data dari berbagai sensor (multisensor fusion) sehingga mampu memberikan gambaran medan pertempuran secara real-time.
Kombinasi sistem radar dan fusi data inilah yang diklaim dapat mengurangi beban kerja pilot, sekaligus meningkatkan kemampuan mereka dalam merespon situasi dinamis baik dalam maupun di luar zona tempur.
Untuk spesifikasi teknis, berikut data utama dari jet tempur Rafale:
Lebar Sayap: 10,9 meter
Panjang Pesawat: 15,3 meter
Tinggi: 5,3 meter
Berat Kosong: 10 ton
Berat Saat Lepas Landas: 24,5 ton
Kecepatan Maksimum: Mach 1,8 (sekitar 750 knot)
Mesin: 2 x Snecma M88-2 turbofan
Radius Tempur: 1.850 km
Jangkauan Maksimum: 3.700 km
Radar: Thales AESA
Namun, meskipun memiliki spesifikasi yang begitu tangguh, fakta bahwa jet ini bisa dijatuhkan oleh jet tempur J-10C buatan China membuat banyak pengamat pertahanan mulai mengevaluasi ulang efektivitas Rafale dalam skenario pertempuran modern, khususnya di Asia Selatan.
Insiden ini juga berdampak langsung terhadap reputasi Dassault Aviation. Saham perusahaan tersebut dilaporkan anjlok setelah kabar jatuhnya tiga Rafale tersebar luas di media. Hal ini tidak hanya memengaruhi citra pesawat secara teknis, tetapi juga memperkuat sentimen bahwa perang di era modern membutuhkan lebih dari sekadar teknologi tinggi.
Sementara itu, dari sisi geopolitik, kejadian ini menambah panas konflik antara India dan Pakistan. Kedua negara memiliki sejarah panjang pertikaian, termasuk tiga perang besar dan berbagai insiden perbatasan. Kini, dengan eskalasi terbaru yang melibatkan jet tempur canggih, kekhawatiran akan konflik berskala lebih besar pun kembali mencuat.
Penggunaan jet tempur dari negara asing juga memperlihatkan dinamika baru dalam aliansi global. India yang menjalin kerja sama militer dengan Prancis melalui pembelian Rafale, berhadapan dengan Pakistan yang mengandalkan kekuatan China. Ini menunjukkan bahwa konflik India-Pakistan juga menjadi ajang pertarungan kepentingan global antara kekuatan Barat dan Timur.
Ke depannya, dunia akan terus menyoroti bagaimana India merespons insiden ini — apakah mereka akan meningkatkan pembelian senjata baru, merevisi strategi pertahanan udara, atau membuka jalur diplomatik untuk menurunkan tensi.
Yang jelas, perang modern bukan lagi soal siapa yang punya senjata paling mahal, tetapi siapa yang paling siap, paling cepat beradaptasi, dan paling cerdas membaca peta kekuatan global.