Putusan MK: Pendidikan Dasar Harus Gratis di Semua Sekolah, Negeri dan Swasta
Tanggal: 28 Mei 2025 11:18 wib.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) telah mengeluarkan keputusan penting yang menyatakan bahwa negara, baik pemerintah pusat maupun daerah, wajib memberikan akses pendidikan dasar secara gratis di semua jenis satuan pendidikan, termasuk Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan madrasah, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh swasta.
Ketua MK, Suhartoyo, menyampaikan bahwa putusan tersebut merupakan respon terhadap keluhan para pemohon yang berjuang demi keadilan dalam pendidikan. Putusan ini tertuang dalam Nomor 3/PUU-XXII/2024 yang dibacakan di hadapan publik pada hari Selasa. Pihak MK mencatat bahwa frasa yang tertulis dalam Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni "wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya", ternyata menciptakan kebingungan dan berpotensi menimbulkan diskriminasi. Hal ini dianggap bertentangan dengan UUD 1945, yang menjamin hak atas pendidikan untuk seluruh warga negara tanpa terkecuali.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan bahwa pemahaman yang hanya membebaskan biaya pendidikan di sekolah negeri menyebabkan ketidaksetaraan akses pendidikan bagi siswa yang bersekolah di lembaga pendidikan swasta. Situasi ini semakin diperparah dengan banyaknya anak-anak yang terpaksa memilih sekolah swasta akibat keterbatasan kapasitas sekolah negeri untuk menampung mereka.
Dalam kondisi ini, jelas Enny, tanggung jawab konstitusional pemerintah tetap berlaku. Negara harus memastikan bahwa tidak ada anak yang terhalang untuk menerima pendidikan dasar hanya karena kendala ekonomi atau kurangnya fasilitas pendidikan yang memadai. Konstitusi, lanjutnya, tidak memberikan batasan tegas mengenai jenis pendidikan dasar yang harus dibiayai oleh negara. Sesuai dengan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945, negara diberi mandat untuk menyediakan biaya pendidikan dasar dengan tujuan agar setiap warga negara dapat menjalani pendidikan yang menjadi hak mereka.
Apabila frasa yang dimaksud hanya berlaku untuk sekolah negeri, maka MK berpendapat bahwa negara akan mengesampingkan kenyataan pahit di lapangan, di mana banyak anak yang terpaksa mencari pendidikan di lembaga swasta dengan biaya yang jauh lebih mahal. Hal ini jelas bertentangan dengan tanggung jawab negara dalam menjamin akses pendidikan dasar yang bebas biaya bagi semua warga.
Oleh karena itu, MK mengusulkan agar negara menciptakan kebijakan pembiayaan pendidikan dasar secara inklusif di seluruh sekolah, baik negeri maupun swasta. Salah satu mekanisme yang bisa diimplementasikan adalah penyediaan bantuan pendidikan atau subsidi bagi lembaga-lembaga pendidikan swasta yang memenuhi syarat.
Namun, MK menyadari bahwa tidak semua sekolah swasta di Indonesia dapat dikategorikan secara seragam. Beberapa lembaga pendidikan swasta membawa kurikulum yang berbeda, bahkan menawarkan nilai tambah yang dapat meningkatkan minat siswa untuk belajar. Hal ini menjadikan pilihan sekolah swasta tidak selalu diambil karena kekurangan akses, tetapi bisa jadi karena keinginan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih variatif.
Dalam konteks tersebut, MK menekankan agar negara harus bijak dalam mengalokasikan anggaran pendidikan untuk semua jenis pendidikan dasar, dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan spesifik masing-masing sekolah swasta. Enny menambahkan bahwa bantuan pendidikan yang diberikan kepada lembaga swasta harus berdasarkan kriteria tertentu agar sekolah-sekolah yang mendapatkan dukungan tersebut dikelola dengan baik.
Sehubungan dengan pertimbangan di atas, MK merumuskan ulang norma di Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas menjadi jelas bahwa "Pemerintah dan pemerintah daerah diwajibkan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan dasar yang wajib tanpa membebankan biaya, baik untuk pendidikan yang diadakan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat." Putusan ini berakar dari permohonan yang diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia bersama tiga ibu rumah tangga, Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum, yang mewakili suara masyarakat sipil dalam memperjuangkan hak pendidikan yang lebih adil dan merata.