Putin Desak Pasukan Ukraina di Kursk untuk Menyerah,Apakah Posisi Kyiv Melemah?
Tanggal: 15 Mar 2025 17:30 wib.
Presiden Rusia, Vladimir Putin, telah mengeluarkan seruan kepada pasukan Ukraina yang terjebak di wilayah Kursk untuk menyerah. Seruan ini muncul dalam konteks yang semakin memanas, di mana tekanan internasional terhadap Rusia semakin meningkat. Salah satu suara paling lantang datang dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang secara terbuka meminta agar nyawa pasukan Ukraina diselamatkan.
Trump mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi ribuan tentara Ukraina yang dikatakan terjepit di garis depan. Dia bahkan memperingatkan bahwa pertempuran di Kursk bisa berakibat pada tragedi kemanusiaan yang sangat besar, mungkin yang paling buruk sejak Perang Dunia II. "Saya telah meminta dengan tegas kepada Presiden Putin agar nyawa pasukan Ukraina diselamatkan," ungkap Trump, seperti dikutip dari AFP pada tanggal 15 Maret 2025.
Pernyataan Trump ini muncul setelah pertemuan antara utusannya, Steve Witkoff, dan Putin pada pertengahan Maret. Pertemuan ini bertujuan untuk membahas gagasan gencatan senjata selama 30 hari antara AS dan Ukraina. Dalam konteks ini, Trump mengekspresikan optimisme bahwa ada peluang untuk mencapai kesepakatan damai. Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, juga menunjukkan pentingnya konsesi dari kedua belah pihak untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Trump menjelaskan melalui platform Truth Social, "Kami mengadakan diskusi yang sangat baik dan produktif dengan Presiden Putin. Ada peluang besar bahwa perang berdarah ini bisa berakhir," demikian pernyataannya. Namun, meskipun ada tanda-tanda positif dari dialog ini, Rusia dilaporkan masih memiliki sejumlah pertanyaan terkait proposal tersebut.
Sementara itu, Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, menuduh Moskwa secara sengaja menghalang-halangi usaha diplomatik dengan menetapkan syarat-syarat yang dianggap sangat sulit dan tidak realistis sebelum gencatan senjata bahkan dimulai.
Dalam situasi tersebut, tekanan dari komunitas internasional terhadap Rusia tidak surut. Negara-negara anggota G7 telah memberikan peringatan tegas kepada Rusia bahwa mereka siap memberlakukan sanksi baru jika Moskwa tidak menerima gencatan senjata dengan syarat yang adil. Sanksi yang tengah dipertimbangkan mencakup pembatasan harga minyak, peningkatan dukungan militer untuk Ukraina, dan berbagai langkah ekonomi lainnya yang bertujuan untuk menekan Rusia.
Perancis dan Jerman telah menuduh Rusia berupaya menggagalkan kesepakatan damai, sedangkan Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, juga menyampaikan kritik terhadap sikap Rusia yang seolah-olah mengindahkan usaha Trump untuk meraih perdamaian. "Tindakan Rusia yang mengabaikan proposal gencatan senjata ini menunjukkan bahwa Putin tidak serius dalam mencari jalan menuju perdamaian," tegas Starmer.
Di sisi lain, situasi di Kursk sangat krusial bagi Ukraina. Sebelumnya, pemerintah Kyiv berharap untuk menggunakan wilayah Kursk sebagai alat tawar dalam negosiasi dengan Rusia. Bahkan, ada rencana untuk melakukan pertukaran wilayah dengan Moskwa, yang sejak aneksasi Krimea pada 2014 telah menguasai sekitar 20% dari total wilayah Ukraina.
Namun, dengan intensitas serangan Rusia yang semakin meningkat di Kursk, posisi Ukraina untuk mempertahankan wilayah ini tampak semakin berisiko. Jika Kyiv kehilangan kontrol atas Kursk, maka upaya mereka untuk mendapatkan posisi yang lebih menguntungkan dalam negosiasi damai bisa terancam. Posisi tawar Ukraina dalam diskusi mendatang akan semakin sulit jika serangan Rusia berlanjut dan keuntungan teritorial mereka kian menyusut.
Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa perjuangan ini tidak hanya melibatkan militer, tetapi juga diplomasi yang rumit, di mana strategi dan taktik kedua belah pihak semakin dipertaruhkan dalam konteks konflik yang berlarut-larut ini.