Putin dan Kim Jong Un Teken Pakta Pertahanan, AS Cs Panik
Tanggal: 20 Jun 2024 18:34 wib.
Presiden Rusia Vladimir Putin dan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un baru-baru ini telah menandatangani pakta pertahanan yang mencakup klausul yang mewajibkan kedua negara untuk saling membantu dalam hal salah satu dari mereka diserang. Langkah ini menandai kemitraan strategis komprehensif antara kedua negara, yang digambarkan oleh Kim sebagai "aliansi". Kesepakatan itu disepakati setelah pembicaraan berjam-jam di ibu kota Korea Utara, Pyongyang, pada Rabu (19/6/2024).
Tidak dapat dipungkiri bahwa tindakan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, terhadap meningkatnya hubungan ekonomi dan militer antara Korea Utara dan Rusia. Pakta pertahanan ini juga memunculkan kekhawatiran akan kemungkinan bantuan Rusia terhadap program rudal atau nuklir Korea Utara.
Pada saat yang sama, para pejabat intelijen Amerika Serikat (AS) telah melaporkan bahwa mereka yakin Putin memberikan teknologi kapal selam nuklir dan rudal balistik kepada Korea Utara sebagai imbalan atas dukungan senjata untuk perangnya di Ukraina. Para pejabat ini juga mengungkapkan kekhawatiran atas kemungkinan bahwa Rusia akan membantu Korea Utara dalam menyelesaikan langkah-langkah terakhir yang diperlukan untuk mengerahkan kapal selam pertamanya yang mampu meluncurkan rudal bersenjata nuklir.
Selain itu, muncul kekhawatiran bahwa bantuan Rusia terhadap rudal balistik Korea Utara dapat berdampak langsung pada Amerika Serikat. Belum jelas apakah dukungan ini akan berujung pada rudal balistik antarbenua (ICBM) yang dapat mencapai daratan AS, atau rudal balistik jarak pendek yang juga dapat digunakan dalam konflik skala besar dengan Korea Selatan.
Kekhawatiran juga diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg terkait potensi dukungan Rusia kepada Korea Utara dalam mendukung program rudal dan nuklir. Hal ini mencerminkan keprihatinan internasional atas dampak dari kemitraan antara Rusia dan Korea Utara terhadap stabilitas global.
Masih dari pihak AS, Wakil Menteri Luar Negeri AS Bonnie Jenkins mengungkapkan keyakinannya bahwa Korea Utara tertarik untuk memperoleh berbagai jenis senjata dan teknologi militer dari Rusia. Hal ini menandakan perubahan dalam kebijakan Rusia terkait dukungan langsung untuk program senjata Korea Utara, yang sebelumnya belum pernah terjadi sejak berakhirnya Perang Dingin. Diketahui bahwa perubahan ini sebagian didorong oleh kebutuhan medan perang di Ukraina.
Para ahli juga menyoroti bahwa bantuan langsung bagi program senjata Korea Utara merupakan perubahan signifikan dalam kebijakan Rusia, yang sebelumnya cenderung menentang proliferasi bersama Amerika Serikat. Selain itu, peningkatan dukungan Rusia terhadap Korea Utara di bidang rudal dan kapal selam juga mencerminkan kebijakan yang telah berubah, dari menentang menjadi melindungi rezim Korea Utara dengan imbalan bantuan material yang sangat dibutuhkan dalam perang di Ukraina.
Menurut James Acton, direktur program kebijakan nuklir di Carnegie Endowment for International Peace, keputusan Rusia untuk memberikan bantuan kepada Korea Utara dalam bidang teknologi militer menandai evaluasi ulang terhadap kepentingan Rusia terhadap Korea Utara yang memiliki senjata nuklir. Hal ini menunjukkan transisi Rusia dari kebijakan yang terbiasa menentang proliferasi senjata nuklir ke arah penerimaan dan perlindungan terhadap rezim Korea Utara.
James Acton juga menjelaskan bahwa kemungkinan Rusia masih belum siap untuk memberikan dukungan langsung terhadap program nuklir Korea Utara, dan lebih cenderung membantu program rudal atau kapal selam Korea Utara. Sementara itu, direktur Carnegie Russia Eurasia Center Alexander Gabuev menekankan bahwa bantuan untuk program luar angkasa dan program rudal Korea Utara akan membutuhkan banyak keahlian dan bantuan teknologi, yang merupakan titik penting bagi negara tersebut.
Terlepas dari kekhawatiran yang muncul, baik Rusia maupun Korea Utara belum mempublikasikan teks perjanjian keamanan tersebut. Oleh karena itu, belum jelas bentuk dukungan apa yang akan diberikan, dan hanya sedikit rincian perjanjian yang dipublikasikan. Presiden Putin menjelaskan bahwa perjanjian tersebut merupakan kemitraan komprehensif yang memungkinkan bantuan timbal balik dalam hal terjadi agresi terhadap salah satu pihak dalam perjanjian itu. Putin juga menegaskan bahwa perjanjian tersebut bersifat defensif, dengan alasan hak Korea Utara untuk membela diri, serta menegaskan bahwa Rusia tidak akan menutup kemungkinan meningkatkan kerja sama teknis militer dengan Korea Utara.
Tidak hanya itu, pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, juga menyebut perjanjian tersebut sebagai "perjanjian terkuat" yang pernah ditandatangani antara kedua negara. Kim memandang perjanjian tersebut sebagai langkah penting yang akan meningkatkan hubungan kedua negara ke tingkat aliansi yang lebih tinggi. Belakangan ini, upaya kerja sama militer antara Korea Utara dan Rusia telah menjadi sorotan internasional, terutama bagi AS dan Korea Selatan.
Sejalan dengan itu, Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, menyoroti upaya Rusia dalam mengembangkan dan memperkuat hubungannya dengan negara-negara yang dapat memenuhi kebutuhannya untuk melanjutkan perang agresi di Ukraina. Menurutnya, dukungan finansial dan persenjataan dari Korea Utara dan Iran telah menjadi perhatian serius bagi Amerika Serikat.
Dari segi politik, ekonomi, dan militer, kerja sama antara Rusia dan Korea Utara sebagai hasil dari pakta pertahanan tersebut akan berdampak luas dalam geopolitik internasional. Kekhawatiran keamanan global yang muncul adalah bukti bahwa kerja sama ini memang memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas regional dan internasional. Eisenhowser berkata "Bukan ukuran kekuatan militer, bukan dominasi politik, bukan daya tahan ekonomi yang menandakan keadilan dan kemaanetan, tapi kebijaksanaan, kekuatan batin, keadilan dan perdamaian saja yang mampu menjamin keamanan dunia".