Presiden China Serukan Persatuan Asia Melawan AS, Malaysia Telah Berkolaborasi Dengan Negara-Negara di Kawasan Ini Untuk Mengatasi Gejolak Konfrontasi Geopolitik
Tanggal: 19 Apr 2025 19:32 wib.
Dalam sebuah langkah strategis untuk mendorong persatuan di Asia, Presiden China Xi Jinping memperkenalkan gagasan tentang "keluarga Asia" selama kunjungannya ke Asia Tenggara. Seruan ini merupakan respons langsung terhadap tekanan yang semakin intens dari Amerika Serikat, yang berusaha untuk membatasi hubungan dagang dengan Beijing.
Berdasarkan laporan dari Bloomberg, Xi tiba di Phnom Penh pada Kamis, 17 April 2025, memulai rangkaian kunjungan ke tiga negara di kawasan ini. Saat pemerintahan Trump tengah mencari cara untuk menjalin kerjasama dengan mitra dagang untuk menekan Beijing, langkah ini semakin menegaskan posisi diplomatik China.
Dalam pidatonya pada jamuan makan malam kenegaraan di Malaysia pada hari sebelumnya, Xi menggarisbawahi pentingnya solidaritas, terutama saat kedua negara menandatangani sejumlah kesepakatan yang mengisyaratkan hubungan ekonomi yang terus berkembang. "China dan Malaysia akan berkolaborasi dengan negara-negara di kawasan ini untuk mengatasi gejolak konfrontasi geopolitik dan dinamika berbasis blok. Kita akan menjaga masa depan cerah keluarga Asia," ungkapnya di Putrajaya, ibu kota administratif Malaysia.
Usaha diplomatik ini tidak berhenti di situ. Xi juga memfasilitasi pernyataan bersama yang menegaskan komitmen China dan Malaysia untuk meningkatkan kerjasama di berbagai bidang, termasuk industri, rantai pasokan, dan data, serta sumber daya manusia. Kedua negara sepakat untuk melaksanakan Program Lima Tahun untuk Kerjasama Ekonomi dan Perdagangan, dan membangun “komunitas strategis Malaysia-China tingkat tinggi.”
Dalam sebuah sindiran halus terhadap kebijakan luar negeri AS, Xi menegaskan perlunya untuk melawan unilateralisme dalam sebuah artikel yang diterbitkan di salah satu media Kamboja. “Kita harus bersama-sama melawan hegemonisme dan politik yang mengandalkan kekuasaan,” tulisnya. Dia juga mengingatkan bahwa kedua negara harus tegas menolak setiap upaya dari kekuatan eksternal yang bermaksud mencampuri urusan dalam negeri mereka dan menciptakan ketidakstabilan.
Komentar Xi tersebut dilontarkan di tengah meningkatnya ketegangan perdagangan China-AS. Sebelumnya, AS dilaporkan bersiap untuk mendorong negara-negara lain untuk mengambil langkah-langkah yang dapat membatasi kekuatan manufaktur China, termasuk pembatasan tarif pada barang-barang buatan China. Tidak dapat dipungkiri bahwa kedua negara terlibat dalam perseteruan yang saling menguntungkan, di mana Trump telah menaikkan tarif impor barang China hingga mencapai 145%, dan Beijing merespons dengan menetapkan tarif sekitar 125% pada produk-produk asal AS.
Xi menjadikan Asia Tenggara sebagai salah satu destinasi dalam jadwal perjalanan luar negeri pertamanya tahun ini, melihat pentingnya menjaga negara-negara di kawasan ini agar tidak terjebak dalam kesepakatan yang merugikan China dengan AS. Meskipun ada penangguhan selama 90 hari terhadap tarif yang akan dikenakan, ancaman Trump untuk meningkatkan tarif tetap membuat banyak negara di kawasan tersebut berada dalam posisi sulit, terpaksa bergerak hati-hati di antara kedua kekuatan besar ini.
Dalam presentasi diplomatik awal yang sukses, Kementerian Luar Negeri China merilis pernyataan yang menunjukkan dukungan penuh dari Malaysia. Perdana Menteri Anwar Ibrahim memuji Xi sebagai pemimpin yang luar biasa dan secara tegas menolak kemerdekaan Taiwan—sebuah demokrasi yang dianggap oleh Beijing sebagai bagian dari wilayahnya. Anwar juga menekankan bahwa anggota ASEAN tidak akan mendukung tarif perdagangan sepihak, terutama saat negaranya menjabat sebagai ketua bergilir blok tersebut.
Kunjungan Xi ke kawasan ini dimulai pada Senin, 14 April 2025, di Vietnam, di mana pemerintah setempat memberinya sambutan hangat dan menandatangani 45 kesepakatan yang bertujuan untuk memperdalam hubungan ekonomi antara kedua negara. Dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan, Vietnam dan China menegaskan komitmen mereka untuk menolak unilateralisme dan tindakan yang dapat mengancam perdamaian serta stabilitas di kawasan ini, sebuah pernyataan yang sejalan dengan posisi mereka sebelumnya.