Sumber foto: Canva

Post Power Syndrome Saat Bekerja di Pemerintahan

Tanggal: 26 Jul 2025 09:26 wib.
Transisi dari puncak karier menuju masa purnabakti, apalagi bagi mereka yang pernah memegang jabatan strategis di pemerintahan, seringkali tidak mulus. Banyak yang menyebutnya sebagai post power syndrome. Istilah ini menggambarkan kondisi psikologis ketika seseorang kehilangan status, kekuasaan, dan rutinitas yang selama ini melekat pada jabatannya. Bagi pejabat atau pegawai negeri yang terbiasa dengan fasilitas, pengaruh, dan hiruk pikuk pekerjaan, hilangnya semua itu bisa memicu gejolak batin yang serius. Ini bukan sekadar penyesuaian biasa, tapi bisa jadi perjuangan berat menghadapi identitas baru.

Hilangnya Status dan Identitas Diri

Salah satu pemicu utama post power syndrome adalah hilangnya status dan identitas diri. Selama bertahun-tahun, jabatan di pemerintahan bukan hanya sekadar pekerjaan, melainkan juga bagian integral dari siapa mereka. Punya otoritas, dihormati, didengar, dan terlibat dalam keputusan besar, semua itu membentuk citra diri yang kuat. Ketika semua itu lenyap seiring pensiun atau pergantian jabatan, mereka bisa merasa kehilangan arah, seolah sebagian besar dari diri mereka ikut hilang.

Perasaan tidak lagi penting atau tidak dibutuhkan bisa sangat menyakitkan. Dulu, mungkin setiap telepon dijawab, setiap undangan dihadiri. Sekarang, mungkin sepi. Perubahan drastis ini bisa menimbulkan kekosongan, memicu pertanyaan tentang makna hidup dan nilai diri di luar jabatan. Sulit bagi sebagian orang untuk memisahkan identitas pribadi mereka dari identitas profesionalnya.

Perubahan Rutinitas dan Kehilangan Tujuan

Setiap pagi, ada kantor yang menunggu, agenda rapat yang padat, dan berbagai masalah yang perlu diselesaikan. Rutinitas kerja di pemerintahan seringkali sangat terstruktur dan penuh tantangan. Begitu pensiun, semua itu lenyap. Perubahan rutinitas yang mendadak dan hilangnya tujuan harian bisa membuat individu merasa kebingungan. Waktu luang yang mendadak banyak justru terasa hampa, bukan nikmat.

Bagi mereka yang terbiasa sibuk, tidak punya jadwal yang jelas bisa menimbulkan rasa bosan, frustrasi, bahkan depresi. Tujuan hidup yang selama ini terkait dengan pekerjaan (misalnya, mewujudkan kebijakan publik tertentu, melayani masyarakat) tiba-tiba tidak ada lagi. Ini menuntut adaptasi besar untuk menemukan kembali gairah dan makna dalam kegiatan sehari-hari yang baru.

Isolasi Sosial dan Jaringan yang Menyusut

Lingkungan kerja di pemerintahan biasanya sangat dinamis, penuh interaksi dengan kolega, bawahan, dan pihak eksternal. Begitu keluar dari lingkungan itu, lingkaran sosial bisa menyusut drastis. Teman-teman yang dulunya sering bertemu di kantor kini jarang berinteraksi. Jaringan yang dibangun selama puluhan tahun, yang dulu jadi sumber informasi dan dukungan, mungkin tidak lagi seaktif dulu.

Perasaan terisolasi atau kesepian bisa muncul. Mereka mungkin merasa tidak lagi punya tempat di lingkaran sosial yang sama. Ini bisa memperburuk kondisi psikologis, apalagi jika tidak ada aktivitas pengganti atau lingkungan sosial baru yang mendukung. Manusia adalah makhluk sosial, dan hilangnya interaksi yang bermakna bisa sangat memengaruhi kesejahteraan mental.

Dampak Fisik dan Mental: Depresi hingga Penyakit

Tekanan psikologis akibat post power syndrome tidak hanya berhenti pada perasaan tidak nyaman. Jika tidak ditangani, ini bisa berujung pada masalah kesehatan mental yang lebih serius seperti depresi, kecemasan, atau gangguan tidur. Stres kronis juga bisa berdampak pada kesehatan fisik, membuat tubuh lebih rentan terhadap berbagai penyakit.

Beberapa kasus menunjukkan, perubahan drastis ini bisa memicu masalah jantung, tekanan darah tinggi, atau penurunan daya tahan tubuh. Kesehatan mental dan fisik saling terkait. Ketika pikiran terbebani, tubuh juga ikut merasakan dampaknya. Pentingnya deteksi dini dan dukungan profesional menjadi sangat krusial untuk mencegah kondisi ini berkembang menjadi lebih parah.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved