Peretas Korea Utara Bobol Data Rahasia AS untuk Program Nuklir
Tanggal: 26 Jul 2024 20:59 wib.
Amerika Serikat telah menuduh seorang peretas dari Korea Utara atas pembobolan data rahasia militer untuk mendukung program senjata nuklir di Pyongyang. Tersangka ini, Rim Jong Hyok, didakwa oleh Kementerian Kehakiman AS karena telah melakukan konspirasi dalam mengakses komputer di Amerika Serikat serta melakukan pencucian uang. Tindakan peretasan ini memberikan dampak serius bagi keamanan nasional dan informasi rahasia Amerika Serikat.
Proses penyelidikan atas kasus peretasan ini melibatkan Biro Investigasi Federal (FBI) dan Kementerian Kehakiman yang berhasil menyita beberapa akun daring milik para pembobol. Selain itu, pihak berwenang AS juga berhasil menyita sejumlah uang virtual senilai $600.000 yang sebelumnya digunakan untuk serangan ransomware, yang kemudian akan dikembalikan kepada para korban serangan tersebut. Kolaborasi antara lembaga keamanan siber dari Inggris dan Korea Selatan juga turut berpengaruh dalam mengungkap identitas para peretas.
Berdasarkan pernyataan dari anggota Pusat Keamanan Siber Nasional Inggris, Paul Chichester, kegiatan spionase dunia maya yang diungkap ini menunjukkan sejauh mana aktor yang disponsori negara Korea Utara bersedia melakukan apapun demi menjaga program militer dan nuklir mereka. Badan keamanan siber dari tiga negara tersebut menyebutkan bahwa kelompok peretas yang terlibat berasal dari Korea Utara dan dikenal dengan sebutan Anadriel atau APT45. Mereka diduga merupakan bagian dari badan intelijen Korea Utara yang tergabung dalam Biro Umum Pengintaian.
Dalam pernyataan bersama, AS, Inggris, dan Korea Selatan menjelaskan bahwa unit siber ini secara geografis menargetkan sistem komputer di berbagai perusahaan pertahanan atau teknik. Mereka juga melakukan upaya pembobolan terhadap produsen tank, kapal selam, kapal angkatan laut, pesawat tempur, dan sistem rudal dan radar. Selain itu, beberapa lembaga di Amerika Serikat seperti Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional (NASA), Pangkalan Angkatan Udara Randolph di Texas, dan Pangkalan Angkatan Udara Robbins di Georgia juga menjadi sasaran pembobolan oleh para peretas Korea Utara.
Pada kasus penargetan terhadap NASA yang terjadi pada bulan Februari 2022, para peretas menggunakan skrip malware untuk secara ilegal mengakses sistem komputer selama tiga bulan. Lebih dari 17 gigabyte data yang tidak diklasifikasikan berhasil diekstraksi dari sistem tersebut. Tindakan peretasan semacam ini menunjukkan bagaimana teknik pembobolan hacker Korea Utara bisa menjadi ancaman serius bagi berbagai sektor industri di seluruh dunia.
Selain peretasan terhadap lembaga pemerintah dan industri militer, Korea Utara juga memiliki sejarah dalam menggunakan tim peretasan untuk mencuri informasi militer yang sensitif. Mereka juga menggunakan ransomware untuk mendanai operasi mereka dengan menargetkan rumah sakit dan perusahaan perawatan kesehatan di Amerika Serikat. Seiring dengan perkembangan teknologi, ancaman dari kegiatan peretasan ini semakin berkembang dan menjadi perhatian serius bagi lembaga keamanan siber di berbagai negara.
Keberhasilan AS, Inggris, dan Korea Selatan dalam mengungkap kasus peretasan ini menjadi bukti bahwa kolaborasi antar negara dalam melawan kejahatan dunia maya bisa memberikan hasil yang signifikan. Diperlukan upaya bersama dalam mengembangkan sistem keamanan yang mampu melindungi berbagai lembaga dan industri dari ancaman peretasan yang semakin kompleks dan merugikan. Melalui peningkatan kerjasama internasional, diharapkan upaya untuk melawan kegiatan peretasan semacam ini dapat semakin efektif di masa depan.