Sumber foto: iStock

Perang Saudara Tetangga RI Makin Ngeri, Junta Militer di Ujung Tanduk

Tanggal: 25 Sep 2024 05:15 wib.
Situasi di Myanmar masih memanas sejak kudeta pada 2021. Terbaru, pasukan antikudeta mulai menargetkan Kota Mandalay sebagai salah satu cara untuk menggulingkan junta militer. Mandalay, ibu kota kerajaan lama Myanmar dan pusat budaya di jantung wilayah Buddha, menyaksikan beberapa protes terbesar setelah kudeta, serta beberapa tindakan keras yang paling brutal.

Banyak dari pengunjuk rasa muda itu melarikan diri ke wilayah yang dikuasai oleh kelompok etnis bersenjata untuk mendapatkan senjata dan pelatihan. Mereka sekarang kembali dengan tekad dan senjata demi merebut kembali kota terbesar kedua di Myanmar tersebut. Pyay, 22 tahun, adalah seorang mahasiswa di kota Mandalay sebelum kudeta. Pada 27 Maret 2022, setahun setelah militer menembak mati sedikitnya 40 warga sipil di Mandalay, dia memutuskan untuk bergabung dengan kelompok perlawanan bersenjata yang disebut Tim Pembela Rakyat Madaya.

Pada tanggal 5 Agustus 2024 lalu, ia dan pasukannya sedang memulihkan diri di sebuah pos terdepan di pinggiran Madaya, kota terakhir antara pejuang antikudeta dan Mandalay. "Tiba-tiba, sebuah pesawat militer datang dan kami menyelam untuk merangkak di tanah. Militer pasti mendapat beberapa informasi bahwa ada kelompok revolusioner yang bermarkas di daerah itu," kata Pyay, yang juga meminta untuk menggunakan sebagian namanya saja demi alasan keamanan, seperti dikutip Al Jazeera. 

Namun, alih-alih mengenai pos terdepan mereka, bom tersebut jatuh langsung ke sebuah desa, menghancurkan rumah-rumah dan melukai tiga warga sipil. "Saya merasa sangat marah," kata Pyay. "Penduduknya tidak bersalah dan tidak ada alasan untuk menyerang mereka... tetapi mereka tidak berani melawan kami di darat sehingga mereka menggunakan artileri dan pesawat terbang." Kelompok-kelompok yang menaungi yay umumnya loyal kepada Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), pemerintahan paralel dari anggota parlemen terpilih yang disingkirkan dalam kudeta. Namun, unit yang paling efektif biasanya beroperasi di bawah bimbingan kelompok etnis bersenjata.

Yang paling kuat dari semuanya mungkin adalah Pasukan Pertahanan Rakyat Mandalay (PDF), yang bertempur di bawah komando Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang (TNLA) dan telah menjadi pusat operasi di Mandalay utara. "Tanpa PDF Mandalay, kami tidak dapat merebut Madaya," aku Pyay. 

Terlepas dari bahayanya, kelompok perlawanan melihat kota itu penting untuk menyingkirkan militer dari kekuasaan. "Jika kita dapat merebut Mandalay, kita akan sangat dekat dengan akhir revolusi kita," kata Pyay. Anthony Davis, seorang analis dari publikasi pertahanan dan keamanan Janes, mengatakan PDF Mandalay telah menjadi begitu kuat karena beroperasi sebagai "perpanjangan virtual dari TNLA".

TNLA berjuang untuk otonomi orang-orang etnis Ta'ang, yang sebagian besar tinggal di pegunungan di Negara Bagian Shan utara, beberapa bagian Myanmar yang paling kurang berkembang. Ada sejarah panjang gerakan bersenjata Ta'ang tetapi TNLA modern didirikan pada tahun 2009. Kelompok menikmati hubungan dekat dengan China. Morgan Michaels, dari Institut Internasional untuk Studi Strategis, setuju dengan Davis.

"Keberhasilan Mandalay PDF secara langsung dikaitkan dengan pelatihan, persenjataan, komando dan kendali, serta kedalaman operasional yang diberikan TNLA kepada kelompok tersebut. Kelompok tersebut dibentuk oleh TNLA," katanya.

"Tidak ada operasi yang sedang berlangsung yang hanya melibatkan Mandalay PDF sendiri. Mereka masih mengandalkan komando dan kendali TNLA." Kedua analis sepakat bahwa Mandalay PDF akan membutuhkan dukungan TNLA untuk merebut kota tersebut. Namun tidak jelas apakah TNLA akan memberikan dukungan tersebut. 

Sekutu kelompok bersenjata etnis terdekatnya, Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar, baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka tidak berniat untuk maju ke Mandalay, yang tampaknya sebagai respons terhadap tekanan Tiongkok untuk mengendalikan konflik. Bahkan jika perlawanan tidak bergerak ke selatan menuju kota Mandalay, merebut wilayah Mandalay utara tetap penting bagi pertempuran karena menghubungkan wilayah yang dikuasai oposisi.

Davis mengatakan "konektivitas logistik dan operasional antara wilayah yang sekarang bersebelahan yang didominasi perlawanan... akan sangat penting, mungkin menentukan." Analis juga memperingatkan bahwa serangan terhadap kota seperti Mandalay akan membawa risiko besar bagi penduduk di sana. 

"Serangan terhadap kota itu mungkin akan memicu episode kemanusiaan paling parah dari seluruh perang," kata Michaels. Serangan roket perlawanan kecil terhadap kota itu telah menimbulkan momok krisis seperti itu ketika roket itu merusak beberapa bangunan tempat tinggal dan melukai setidaknya satu warga sipil.

Joe Freeman, peneliti Myanmar dari Amnesty International, mengatakan memenuhi kewajiban untuk melindungi warga sipil menjadi "jauh lebih sulit di kota-kota berpenduduk padat seperti Mandalay, tempat warga sipil dan infrastruktur sipil ada di mana-mana". "Intinya adalah bahwa ada banyak risiko bagi warga sipil ketika menyangkut serangan terhadap pusat populasi besar seperti Mandalay, dan kami menyerukan kepada semua pihak yang berkonflik untuk mempertimbangkan hal ini secara serius guna mencegah sebanyak mungkin hilangnya nyawa, kerusakan infrastruktur jangka panjang, dan penderitaan yang meluas,"pungkasnya.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved