Penerbangan MAF Dicabut Ijinnya oleh Dirjen Pehubungan Udara, Warga Pedalaman Semakin Kesulitan Transportasi
Tanggal: 27 Nov 2017 09:40 wib.
Tampang.com – Dengan adanya keputusan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) membekukan izin operasional Mission Aviation Fellowship (MAF) atau izin maskapai non komersial milik lembaga misionaris asing karena habis masa operasionalnya.
Berdasar pada Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 467 Tahun 2017. Sebagaimana izin terakhir yang diberikan untuk mengangkut penumpang umum dan barang dengan memungut biaya mempunyai jangka waktu enam bulan, terhitung dari 8 Mei hingga 8 November 2017.
Dengan tidak beroperasinya MAF sesuai surat keputusan tersebut memberi dampak besar terhadap kondisi masyarakat yang berada di wilayah pedalaman Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara). Terutama dua desa Long Sule dan Long Pipa di Kabupaten Malinau yang selama ini hanya mampu dijangkau oleh pesawat perintis jenis Cessna.
Arung Ajo, Jingom Tadai Kepala Adat Besar Punan Kecamatan Kayan Hilir yang juga putra asli desa tersebut, membenarkan dengan tidak terbangnya MAF semakin menyulitkan kondisi warga pedalaman.
“Banyak guru dan masyarakat tertahan di Malinau sudah satu bulan lamanya, karena tidak ada penerbangan (MAF) kesana (Long Sule dan Long Pipa). Pesawat Susi Air juga baru 2 kali terbang kesana,”terang mantan kepala perwakilan Desa Long Sule dan Long Pipa tersebut, melalui sambungan telepon, Minggu (26/11).
Menurutnya, dengan banyaknya guru yang tertahan di Malinau proses belajar mengajar di dua desa terisolir tersebut menjadi terganggu.
“Informasinya aktivitas belajar mengajar anak-anak disana terganggu. Bahkan ujian sekolah juga terancam batal dilaksanakan kalau tidak ada solusi,”terangnya.
Sedangkan untuk kebutuhan sembako kata pria yang akrab disapa Arung ini, telah terbantu dengan program Subsidi Ongkos Angkut (SOA) Pemprov Kaltara.
“Cuma yang dikhawatirkan ketika ada orang sakit. Ketika ada MAF mereka tidak perlu membayar karena MAF telah kerjasama dengan Pemda Malinau,”ujarnya.
Menurut pria yang lahir dan besar di dua desa yang hingga kini belum memiliki akses jalan darat sama sekali tersebut. Sudah sejak tahun 1970 MAF telah beroperasi disana.
“Mereka (MAF) tidak sedikitpun merugikan masyarakat maupun negara,”urainya.
Dirinya menceritakan, sebelum ada maskapai MAF masuk orang Dayak Punan di hulu, hidupnya masih berpencar. Dengan hadirnya MAF mereka bisa berkumpul dan membuat perkampungan dan bisa terhubung dengan dunia luar.
“Ketika tidak ada MAF masuk apakah pemerintah sanggup membuka (akses) disana,”terangnya.
Menyikapi hal tersebut dirinya besarta masyarakat yang terkena dampak keputusan tersebut hari ini, Senin (27/11) akan menggelar aksi damai di depan Bandar Udara (Bandara) R.A. Bessing Malinau.
“Rencananya besok pagi mau ada aksi damai di depan Bandara. Supaya pemerintah dapat berpikir jernih melihat kepentingan masyarakat pedalaman dan juga perbatasan, karena sampai hari ini kami belum memiliki akses jalan darat,”ungkapnya dengan nada kecewa.
Terpisah Agus (35) warga Desa Long Sule yang sudah sebulan tertahan di Malinau membenarkan kondisi sulit yang mereka alami akibat tidak terbangnya MAF.
“Selama ini kami memang tergangtung sama MAF karena tarifnya terjangkau dibandingkan dengan Susi Air terutama tarif di luar subsidi,”ungkapnya.
Ia merincikan, untuk tarif maskapai Susi Air bersubsidi satu penumpang dikenai tarif Rp 455 ribu, barang Rp 31 ribu per kilogram. Sedangkan tarif MAF subsidi hanya Rp 350 ribu per orang, barang Rp 28 ribu perkilo.
“Selama pembekuan MAF baru 2 kali maskapai Susi Air bersubsidi masuk. Dengan total penerbangan 6 rite hanya mampu mengangkut sebanyak 81 orang, ada 45 orang yang tidak bisa masuk dan tidak bisa merayakan Natal di kampung halamannya,”katanya.
Dirinya juga membenarkan akan menggelar aksi damai di depan Bandara Malinau bersama dengan tim presidium DOB Apau Kayan.
“Iya kami rencananya besok gabungan dengan tim presidium menggelar aksi damai di Bandara jumlahnya sekitar ratusan orang,”kata Agus.
Menanggapi hal tersebut Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kalimantan Utara Taupan Majid mengatakan. Pihaknya beserta rombongan yang terdiri dari DPRD Kaltara dan juga tokoh masyarakat Malinau dan Nunukan hari ini akan menghadap ke Kemenhub meminta kebijakan perpanjangan izin terbang MAF dengan berbagai pertimbangan.
“Kami akan menghadap ke pusat menyakinkan agar bagaimana perpanjangan izin terbang MAF dapat diberikan. Masalah ini bukan hanya di sini (Kaltara) di Papua, Sulawesi mengalami hal yang sama,”ujarnya.
Dirinya juga tidak mempungkiri jika selama ini masyarakat perbatasan Kaltara ketergantungan dengan maskapai misionaris asing ini.
“Pakai MAF memang tarifnya murah carter bisa Rp 5 juta, sedangkan maskapai komersil bisa mencapai Rp 40 juta,”terangnya.
Dirinya menambahkan, memang hampir tiap tahun terjadi hal seperti ini untuk dilakukan perpanjangan izin terbang. Dan ini untuk kesekian kalinya sebagai bentuk ultimatum dari Kemenhub agar maskapai ini membentuk badan usaha.
“Bukan kami (Pemprov) tidak mau membantu (secara finansial) kami dilematis karena terbentur aturan. Bagaimana auditnya jangan sampai kami disalahkan, Pemprov juga sudah mengupayakan pembangunan jalan maupun rumah sakit,”pungkasnya.