Sumber foto: Google

Penangkapan Rodrigo Duterte: Kontroversi dan Dampaknya di Kawasan ASEAN

Tanggal: 26 Mar 2025 09:49 wib.
Tampang.com | Penangkapan mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte oleh International Criminal Court (ICC) menjadi isu panas yang memecah opini publik. Sebagian masyarakat Filipina mendukung langkah ini, menganggapnya sebagai bentuk akuntabilitas atas dugaan pembunuhan massal dalam perang melawan narkotika. Namun, kelompok yang lebih besar justru mengecam tindakan ICC, menganggapnya sebagai intervensi asing terhadap kedaulatan negara.

Kebijakan keras Duterte dalam memerangi narkoba memang kontroversial. Selama masa kepemimpinannya, ribuan tersangka pengguna dan pengedar narkoba tewas dalam operasi kepolisian yang brutal. Pihak yang menentang Duterte menuding bahwa tindakan tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, sementara para pendukungnya berpendapat bahwa itu adalah bagian dari upaya menjaga stabilitas nasional.

Tanggapan Pemerintah Filipina dan ASEAN

Langkah Presiden Ferdinand "Bongbong" Marcos Jr. yang tidak menghalangi proses hukum ICC terhadap Duterte memicu kekecewaan dari banyak pihak di dalam negeri. Para pendukung Duterte menilai tindakan ini sebagai pengkhianatan terhadap pemimpin yang pernah membawa stabilitas.

Di tingkat regional, isu ini juga memunculkan kekhawatiran terkait intervensi lembaga internasional terhadap negara-negara ASEAN. Sebagian pihak menilai bahwa permasalahan hukum yang melibatkan seorang pemimpin negara ASEAN sebaiknya ditangani melalui mekanisme hukum nasional atau regional, bukan melalui pengadilan internasional yang bisa memiliki motif politis.

Prinsip non-intervensi yang dipegang teguh oleh ASEAN sejak lama seharusnya menjadi landasan dalam menyelesaikan kasus ini. Jika tidak, keterlibatan pihak eksternal dalam urusan dalam negeri negara ASEAN dikhawatirkan akan membuka peluang bagi kasus-kasus serupa di masa depan, yang bisa berdampak pada stabilitas politik dan ekonomi kawasan.

Kritik terhadap ICC dan Potensi Politisasi Kasus

Sejak berdiri pada 1998 dan mulai beroperasi penuh pada 2002, ICC telah menangani berbagai kasus kejahatan internasional. Namun, tidak semua negara mengakui yurisdiksi ICC, termasuk Filipina yang keluar dari Statuta Roma pada 2019.

Fakta bahwa Filipina bukan lagi anggota ICC menimbulkan pertanyaan tentang legalitas dan kewenangan ICC dalam menindak Duterte. Kritikus menilai bahwa penangkapan ini lebih bernuansa politis daripada sekadar upaya penegakan hukum.

Apalagi, di balik kasus ini, terdapat dugaan bahwa langkah ICC dimanfaatkan oleh pihak tertentu dalam pemerintahan Marcos Jr. untuk melemahkan posisi politik Sarah Duterte, putri Rodrigo Duterte, yang digadang-gadang akan mencalonkan diri sebagai presiden.

Indonesia dan ASEAN Harus Bersikap

Sebagai salah satu pemimpin ASEAN, Indonesia harus mendorong penyelesaian kasus ini melalui jalur diplomasi regional, bukan melalui mekanisme hukum internasional yang melibatkan pihak eksternal. Jika dibiarkan, preseden ini bisa mengancam kedaulatan negara-negara ASEAN lainnya di masa depan.

Selain itu, stabilitas kawasan juga bisa terganggu jika konflik politik di Filipina semakin memanas. Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya perlu mendorong solusi damai dan dialog nasional, agar krisis ini tidak berujung pada gejolak politik atau gerakan massa yang bisa mengguncang kawasan.

Kesimpulannya, kasus Duterte tidak hanya menjadi persoalan hukum, tetapi juga mencerminkan pertarungan politik dan tarik ulur kepentingan internasional. ASEAN harus mengambil sikap tegas dalam mempertahankan prinsip kedaulatan dan non-intervensi, sekaligus tetap menegakkan keadilan bagi semua pihak.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved