Netanyahu Menunjukkan Dua Buah Peta Israel dan Kawasan Sekitarnya Tanpa Menyertakan Nama Atau Wilayah Palestina
Tanggal: 12 Okt 2024 19:06 wib.
Istilah "Timur Tengah baru" telah digunakan oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, baru-baru ini. Dalam forum internasional, Netanyahu menunjukkan dua buah peta Israel dan kawasan sekitarnya tanpa menyertakan nama atau wilayah Palestina.
Upaya Israel untuk mengubah tatanan kekuasaan regional dan merestrukturisasi peta politik bukanlah hal baru. Namun, dinamika kawasan yang semakin kompleks dan eskalasi konflik pasca-serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, direspons dengan serangan Israel ke Gaza selama 12 bulan terakhir, telah meyakinkan banyak pihak di Israel bahwa tujuan tersebut kini lebih realistis untuk dicapai.
Dalam pidatonya di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Netanyahu menampilkan peta pertama, yang mencakup wilayah berwarna hijau untuk negara-negara yang memiliki perjanjian damai dengan Israel atau sedang dalam negosiasi untuk menormalisasi hubungan dengan Israel. Peta tersebut memuat negara-negara seperti Mesir, Sudan, Uni Emirat Arab (UEA), Arab Saudi, Bahrain, dan Yordania.
Sedangkan peta kedua menunjukkan wilayah yang diwarnai hitam, mencakup Iran dan sekutunya di wilayah tersebut: Suriah, Irak, Yaman, serta Lebanon. Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, memperingatkan tentang apa yang disebutnya sebagai "ambisi penuh kebencian Israel", menyatakan kekhawatiran bahwa Israel akan menginginkan tanah air di antara Tigris dan Efrat.
Peneliti senior dari Carnegie Middle East Center, Yezid Sayigh, meragukan bahwa ambisi pemerintahan Netanyahu merupakan indikasi dari agenda langsung atau tujuan sebenarnya. Dia memprediksi bahwa "Timur Tengah baru" yang Netanyahu usahakan saat ini adalah tentang memungkinkan Israel menjajah sisa wilayah Palestina, terutama terlihat dari upaya Israel yang 'tidak malu' dalam memperluas proyek permukimannya, terutama di Tepi Barat.
David Schenker, peneliti senior di Washington Institute for Near East Policy, menyatakan bahwa sejumlah menteri dalam pemerintahan sayap kanan Israel tidak percaya pada solusi dua negara dan memperkirakan ketidaksetujuan Amerika Serikat terhadap peta Israel yang tidak mencakup wilayah Palestina.
Miri Eisen, pakar keamanan dan pensiunan perwira intelijen Israel, menegaskan bahwa Israel tidak ingin memaksakan Timur Tengah baru, tetapi ingin memastikan rezim mullah di Iran tidak mendefinisikan tatanan regional. Kata-kata Netanyahu ditujukan untuk mengakhiri program nuklir Iran dan memulihkan posisi historisnya setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang membuatnya malu secara global.
Dukungan signifikan dari Amerika Serikat (AS) juga diberikan kepada Israel untuk memastikan keunggulan strategisnya dan membatasi ekspor senjata dan ideologi Iran ke proksi-proksinya di kawasan yang mengancam Israel dan negara-negara lain. Namun, dukungan ini juga menekankan pentingnya tidak melewati batas merah yang dinyatakan oleh AS, yaitu menargetkan proyek nuklir Iran dan solusi dua negara.
Selain itu, Israel juga telah mengkampanyekan untuk memperkuat kemitraan ekonomi, keamanan, bahkan teknologi dengan negara-negara Arab yang memiliki persepsi sama tentang "ancaman Iran". AS memimpin proyek normalisasi di kawasan tersebut, dengan menawarkan bantuan ekonomi dan militer serta mempromosikan gagasan bahwa Israel bukanlah ancaman regional bagi negara-negara Arab, melainkan sebagai mitra strategis dalam menghadapi Iran.
Meskipun demikian, perang sejak 7 Oktober 2023 mungkin telah memperlambat volume kerja sama perdagangan antara Israel dan mitra barunya dari negara-negara Arab. Israel telah melakukan upaya menandatangani perjanjian dengan negara-negara seperti UEA, Mesir, Bahrain, dan Maroko, yang meliputi investasi dalam pertahanan, keamanan siber, teknologi finansial, dan energi.
Meskipun upaya normalisasi hubungan dengan negara-negara Arab mengalami penundaan sejak serangan 7 Oktober 2023, Israel terus berupaya memperluas kerja sama dagang dan perjanjian ekonomi dengan mereka. Salah satu contohnya adalah perjanjian antara UEA dan Israel untuk membuka rute perdagangan antara kedua negara, yang meluas ke Mesir, Arab Saudi, dan Yordania, serta pemanfaatan gas Israel sebagai pasokan utama untuk beberapa jaringan listrik Mesir.
Dalam sejarahnya, konflik di Timur Tengah telah menjadi salah satu kisah yang paling rumit dan rentan di dunia. Konflik tersebut tidak dapat dilihat secara terpisah dari situasi internasional dan perubahan politik dalam negeri di Eropa yang memainkan peran besar dalam mengubah sikap sejumlah negara Arab terkait normalisasi hubungan dengan Israel.