NATO Akui Pertahanan Eropa Melemah, Tak Siap Hadapi Perang Dunia 3?
Tanggal: 25 Jul 2024 22:57 wib.
Aliansi militer NATO telah mengadakan pertemuan tingkat tinggi di Washington bulan ini, di tengah berkecamuknya perang di Ukraina dan dinamika politik Amerika Serikat (AS). Dalam pertemuan tersebut, muncul isu keresahan terkait besarnya biaya yang dibutuhkan untuk memperbaiki pertahanan Eropa, yang dianggap lemah dalam menghadapi ancaman perang yang berada di dekatnya.
Seorang perencana militer NATO yang tak mau disebutkan namanya menyebutkan bahwa para pejabat telah meneliti sejumlah persyaratan pertahanan minimum untuk mencapai rencana pertahanan Eropa. "Persyaratan minimum memerinci kekurangan pasukan NATO di bidang-bidang utama, memberikan indikasi kasar berapa miliar euro yang harus dikeluarkan untuk memperbaikinya," kata perencana militer itu dikutip Reuters.
NATO bertujuan untuk mengubah persyaratan pertahanan minimum ini menjadi target yang mengikat bagi masing-masing negara anggota untuk menyediakan pertahanan Eropa pada musim gugur 2025. Reuters berbicara dengan 12 pejabat militer dan sipil di Eropa mengenai rencana rahasia tersebut. Mereka menguraikan enam bidang yang diidentifikasi oleh aliansi itu sebagai hal yang paling mendesak untuk diatasi, termasuk kekurangan pertahanan udara dan rudal jarak jauh, jumlah pasukan, amunisi, kesulitan logistik, dan kurangnya komunikasi digital yang aman di medan perang.
Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa NATO menghadapi kesulitan dalam mencapai tujuan-tujuannya, khususnya saat persatuan mereka diuji oleh keterbatasan anggaran di antara anggota-anggota senior Eropa. Selain itu, mulai muncul perbedaan pendapat mengenai seberapa keras sikap mereka terhadap Rusia.
Di sisi lain, pemilihan presiden AS tahun ini telah menimbulkan kekhawatiran bahwa kekuatan utama NATO mungkin dipimpin oleh orang yang kritis terhadap aliansi tersebut, seperti Donald Trump yang menuduh mitra-mitra Eropanya mengambil keuntungan dari dukungan militer AS dalam aliansi itu. Pada pertemuan puncak di Washington, beberapa pembuat kebijakan Eropa secara terbuka mengakui bahwa, terlepas dari siapa yang memenangkan pemilu AS pada bulan November, benua ini perlu meningkatkan belanja militernya.
"Kita perlu menyadari bahwa bagi Amerika, apapun hasil pemilihan presidennya, prioritasnya akan makin beralih ke Indo-Pasifik, sehingga negara-negara Eropa yang tergabung dalam NATO harus melakukan lebih banyak upaya," kata Menteri Pertahanan Inggris John Healey di sela-sela KTT.
Menanggapi pertanyaan Reuters, seorang pejabat NATO mengatakan para pemimpin aliansi tersebut telah sepakat di Washington bahwa dalam banyak kasus, pengeluaran melebihi 2% PDB akan diperlukan untuk mengatasi kekurangan tersebut. Dia mencatat bahwa 23 anggota kini memenuhi persyaratan minimum 2%, atau melampauinya. "Terlepas dari hasil pemilu AS, Sekutu Eropa perlu terus meningkatkan kemampuan pertahanan, kesiapan pasukan, dan persediaan amunisi mereka," kata pejabat NATO tersebut.
NATO berada pada tahap siaga tertinggi sejak Perang Dingin. Menteri Pertahanan Jerman Boris Pistorius memperingatkan bahwa serangan Rusia terhadap perbatasannya dapat terjadi dalam waktu lima tahun. Meski adanya ancaman ini, pemerintah-pemerintah di Eropa mungkin akan menghadapi kesulitan lantaran penerimaan negaranya yang belum meningkat pasca ledakan inflasi akibat perang dengan Rusia.
"Kita mungkin memperkirakan akan melihat reaksi politik yang nyata, terutama jika para politisi mencoba menjelaskan pengurangan anggaran pertahanan di tempat lain," tulis catatan Eurointelligence.