Sumber foto: iStock

Mengapa Orang Keturunan China Banyak Tersebar di Seluruh Dunia? Ini Penjelasan Historisnya

Tanggal: 10 Feb 2025 09:50 wib.
Salah satu bukti paling ikonik dari tradisi ini adalah keberadaan Jalur Sutra, rute perdagangan kuno yang menghubungkan Asia Timur dengan Mediterania sejak 130 SM.

Hingga saat ini, diaspora China telah berkembang sangat luas. Dari hampir 8 miliar penduduk bumi, orang keturunan Tionghoa mencakup 18% populasi global, atau sekitar 1,4 miliar jiwa. Angka ini belum termasuk kaum peranakan Tionghoa yang telah berasimilasi dengan budaya lokal di berbagai negara. Jika dihitung secara total, jumlah keturunan China yang tersebar di seluruh dunia pasti jauh lebih besar.

Lantas, bagaimana sejarah panjang migrasi orang China hingga mereka bisa berada di berbagai negara?

Jalur Sutra: Awal Mula Migrasi Besar Orang China

Sejarah panjang migrasi orang China tidak bisa dilepaskan dari Jalur Sutra, jaringan perdagangan yang berdiri sejak 130 SM di masa Dinasti Han. Jalur ini menjadi penghubung antara China dan dunia luar, memungkinkan pedagang-pedagang China menjual barang dagangan mereka hingga ke Timur Tengah dan Eropa.

Salah satu bukti penting bahwa China telah dikenal luas di dunia adalah adanya ungkapan terkenal dari Jazirah Arab yang berbunyi:

"Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri China."

Konon, ungkapan ini berasal dari Nabi Muhammad SAW yang dikisahkan kembali oleh para sahabatnya. Jika benar Nabi Muhammad yang hidup antara tahun 534-632 M menyebutkan hal tersebut, maka reputasi China sebagai pusat ilmu dan perdagangan sudah sangat kuat di mata orang Arab sejak lebih dari seribu tahun yang lalu.

Menurut sejarawan Yang Fuchang dalam jurnal China-Arab Relations in the 60 Years' Evolution (2018), ungkapan tersebut mengindikasikan bahwa China sudah dianggap sebagai negara maju dan makmur oleh bangsa Arab.

Namun, Jalur Sutra tidak hanya menjadi jalur perdagangan, tetapi juga tempat bermukim. Banyak pedagang China yang akhirnya menetap di sepanjang rute ini, berinteraksi dengan penduduk setempat, dan menikah dengan masyarakat lokal. Dari sinilah lahir generasi baru keturunan China di berbagai negara.

Fenomena ini juga terjadi di wilayah lain, seperti Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Para pedagang China yang datang ke Nusantara tidak hanya berdagang, tetapi juga menikah dengan penduduk setempat. Akibatnya, lahirlah komunitas peranakan Tionghoa, yang hingga kini masih eksis dan memiliki pengaruh besar dalam kehidupan sosial dan ekonomi di berbagai negara.

Dua Gelombang Besar Migrasi Orang China

Menurut sejarawan Zhuang Guotu, migrasi besar-besaran orang China terjadi dalam dua babak utama yang dipicu oleh permintaan tenaga kerja serta dinamika politik dan sosial di China sendiri.

1. Gelombang Migrasi Abad ke-16: Kolonialisme Eropa dan VOC

Pada abad ke-16, kolonialisme Eropa mulai berkembang pesat. Bangsa-bangsa Barat seperti Spanyol, Portugal, Belanda, dan Inggris membutuhkan tenaga kerja yang andal untuk mengelola wilayah jajahan mereka di Asia, Amerika, dan Afrika.

Saat itu, orang-orang China dikenal sebagai pekerja keras, ulet, dan pandai berdagang. Hal ini membuat mereka sangat diminati oleh para penguasa kolonial. Salah satu tokoh yang mendorong migrasi besar-besaran orang China adalah Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen.

Ketika mendirikan Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1619, Coen ingin menjadikannya sebagai pusat perdagangan utama di Asia. Ia melihat orang China sebagai kelompok yang lebih ulet dan rajin bekerja dibandingkan penduduk pribumi. Oleh karena itu, ia membuka pintu selebar-lebarnya bagi para imigran China untuk tinggal dan berdagang di Batavia.

Akibatnya, komunitas Tionghoa berkembang pesat di Batavia dan berbagai wilayah Nusantara. Mereka mendirikan kawasan pecinan (Chinatown), yang hingga kini masih dapat ditemukan di berbagai kota di Indonesia dan negara lainnya.

2. Gelombang Migrasi Abad ke-19: Penghapusan Perbudakan dan Krisis di China

Gelombang migrasi kedua terjadi pada pertengahan abad ke-19. Kali ini, perpindahan besar-besaran orang China ke luar negeri dipicu oleh dua faktor utama:



Permintaan Tenaga Kerja oleh Negara Barat
Pada awal abad ke-19, negara-negara Barat mulai menghapus praktik perbudakan kulit hitam yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi perkebunan mereka. Namun, mereka tetap membutuhkan tenaga kerja yang murah dan mau bekerja keras.

Akibatnya, banyak negara Barat mulai mengimpor pekerja dari China untuk mengisi kekosongan tenaga kerja di sektor perkebunan, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur. Orang-orang China pun dikirim ke Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan berbagai negara lain untuk bekerja sebagai buruh.


Dinamika Politik dan Bencana Alam di China
Selain faktor eksternal, gelombang migrasi besar juga disebabkan oleh kondisi dalam negeri China sendiri. Pada pertengahan abad ke-19, China mengalami kekacauan politik, perang saudara, serta bencana alam yang menyebabkan kelaparan dan kemiskinan.

Banyak orang China yang terpaksa meninggalkan tanah air mereka untuk mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri. Mereka tersebar di berbagai belahan dunia, dari Asia Tenggara hingga Amerika.



Dampak Migrasi: Keturunan China di Seluruh Dunia

Seiring berjalannya waktu, para imigran China tidak hanya bekerja sebagai buruh atau pedagang, tetapi juga berperan dalam perekonomian dan budaya lokal. Mereka mendirikan komunitas pecinan, membangun bisnis, serta berkontribusi dalam berbagai sektor, mulai dari perdagangan, kuliner, hingga teknologi.

Kini, jejak migrasi orang China dapat ditemukan di hampir semua negara. Di Asia Tenggara, komunitas peranakan Tionghoa menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah dan ekonomi negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Sementara itu, di Amerika, Australia, dan Eropa, diaspora Tionghoa terus berkembang dan memiliki pengaruh besar dalam berbagai bidang.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved