Sumber foto: Suara Merdeka

Megaproyek Neom di Ambang Kegagalan: Biaya Membengkak, Skandal, dan Ribuan Korban Jiwa

Tanggal: 16 Mar 2025 14:11 wib.
Tampang.com | Mimpi ambisius keluarga kerajaan Arab Saudi untuk menciptakan sebuah kota futuristik di tengah gurun, yang dikenal dengan nama 'Neom', kini menghadapi ancaman kegagalan total. Proyek raksasa ini dirancang sebagai bagian dari visi besar Pangeran Mahkota Mohammed bin Salman dan meliputi berbagai aspek, termasuk resor eksklusif di pesisir pantai, area ski di pegunungan, hingga pembangunan gedung pencakar langit yang sangat tinggi, yakni 'The Line', yang direncanakan memiliki ketinggian 1.600 kaki dan panjang mencapai 106 mil. Dengan segala keanggunan dan ambisi yang ditawarkan, proyek ini seharusnya menjadi kebanggaan Arab Saudi di mata dunia.

Namun, kenyataannya sangat berbeda. Proyek Neom menghadapi masalah keuangan yang serius. Menurut laporan dari Wall Street Journal, estimasi biaya pembangunan Neom hingga rampung pada tahun 2080 membengkak menjadi US$8,8 triliun (setara dengan Rp144.364 triliun). Angka yang sangat mengejutkan ini ternyata lebih dari 25 kali lipat dari anggaran tahunan kerajaan. Selain itu, laporan audit menunjukkan bahwa pejabat terkait mencoba memalsukan informasi untuk menutupi biaya yang terus membengkak, menciptakan kekhawatiran besar akan transparansi dan akuntabilitas dalam proyek ini.

Kekacauan dalam manajemen proyek ini diduga dilakukan untuk melindungi Pangeran Mahkota dari kenyataan pahit mengenai ketidakmampuan proyek. Para pejabat juga memberikan harapan yang tidak realistis mengenai pendapatan dari resor ski yang belum selesai, menetapkan harga penginapan yang lebih tinggi untuk kamar yang masih dalam tahap pembangunan. Misalnya, harga satu kamar hotel jenis butik standar melonjak dari US$489 (sekitar Rp8 juta) menjadi US$1.866 (sekitar Rp30 juta). Begitu juga dengan tarif untuk glamping mewah yang meroket dari US$216 (sekitar Rp3,5 juta) menjadi US$794 (sekitar Rp13 juta) per malam.

Proyek ambisius ini telah menjadi objek perhatian internasional, terutama setelah pengunduran diri Nadhmi al-Nasr, mantan CEO Neom, pada November 2024. Kepergiannya terjadi setelah adanya tuduhan dalam sebuah film dokumenter yang menyatakan bahwa puluhan ribu pekerja asing telah menjadi korban selama proses pembangunan kota tersebut. Kesengsaraan para pekerja ini ternyata menjadi isu yang sangat serius. 

Kini, resor golf Sindalah, yang juga merupakan bagian dari Neom, masih belum selesai, meskipun para pejabat Arab Saudi telah merayakan peluncurannya dengan megah, menggelar pesta besar-besaran dengan biaya mencapai US$45 juta (sekitar Rp738 miliar) pada Oktober 2024, yang dihadiri oleh banyak bintang terkenal, seperti Will Smith dan Tom Brady. Dengan kenyataan pahit seperti ini, tampaknya proyek Neom semakin jauh dari harapan awalnya.

Sementara itu, di balik semua kebisingan tentang Neom, reputasi perusahaan konsultan McKinsey sebagai perancang anggaran proyek semakin menjadi sorotan. Diberitakan oleh Wall Street Journal, McKinsey telah meraup pendapatan mencapai US$130 juta (sekitar Rp2,1 triliun) setiap tahun dari Neom. Meski demikian, juru bicara McKinsey menegaskan bahwa firma mereka tidak terlibat dalam manipulasi laporan keuangan proyek.

Ketika membicarakan proyek raksasa Neom, tidak bisa dilepaskan dari sejumlah korban yang telah jatuh. Sebuah laporan mengejutkan menyebutkan bahwa setidaknya 21.000 orang tewas selama pembangunan sejumlah proyek di bawah 'Visi 2030' Arab Saudi. Menurut laporan ITV yang dikutip oleh Newsweek, pekerja migran dari India, Bangladesh, dan Nepal telah menjadi yang paling banyak mengalami kecelakaan kerja atau bahkan kehilangan nyawa akibat kondisi yang buruk di lokasi konstruksi. Dari tahun 2017 hingga saat ini, sekitar 100.000 pekerja dilaporkan hilang.

Kondisi kerja yang kurang manusiawi ini memicu penggambaran yang cukup tragis terhadap para pekerja, yang menyebut diri mereka sebagai "budak yang terperangkap" dan "pengemis". Mereka sering kali mengalami pelanggaran keselamatan di tempat kerja, dan bahkan dihadapkan dengan berbagai denda yang menghalangi mereka untuk pulang ke negara asal.

Salah satu cerita menyedihkan datang dari seorang pekerja Nepal bernama Raju Bishwakarma. Ia meminta pertolongan kepada keluarganya sambil menangis, meminta agar mereka "menyelamatkannya" sebelum akhirnya ditemukan tewas di kamarnya. Raju tewas setelah diberitahu bahwa ia bisa kembali ke rumah asalnya jika mampu membayar denda setara dengan gaji lima bulan. Momen tragis ini menyoroti risiko tinggi yang dihadapi pekerja migran yang berada di bawah tekanan berat dari sistem yang ada.

Dewan Ketenagakerjaan Luar Negeri Nepal juga menyebutkan lebih dari 650 migran Nepal telah meninggal di Arab Saudi dengan alasan yang masih belum dapat dijelaskan. Fenomena tragis ini menunjukkan betapa gelapnya sisi dari megaproyek megah yang digadang-gadang oleh Arab Saudi, di mana mimpi besar dan ambisi global harus dibayar dengan harga yang sangat mahal, termasuk nyawa manusia.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved