Sumber foto: iStock

Krisis Populasi Korea Selatan: 49 Sekolah Ditutup Akibat Rendahnya Angka Kelahiran

Tanggal: 28 Feb 2025 13:17 wib.
Korea Selatan saat ini menghadapi tantangan serius yang berhubungan dengan populasi, di mana fenomena ini dikenal sebagai krisis populasi. Banyak generasi muda di negara ini menunjukkan ketidaktertarikan untuk menikah dan memiliki anak, sehingga angka kelahiran mengalami penurunan drastis. Terlebih, angka kelahiran mencapai titik terendah dalam sejarah, menciptakan dampak yang signifikan, salah satunya adalah penutupan puluhan sekolah di seluruh negeri.

Menurut laporan Korea Times yang mengutip data dari Kementerian Pendidikan Korea Selatan, tercatat ada sekitar 49 sekolah yang akan ditutup pada tahun ini. Penutupan ini mencakup berbagai jenis sekolah mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama, hingga sekolah menengah atas, dan menyebar di 17 kota serta provinsi yang ada di Korea Selatan.

Dari jumlah tersebut, mayoritas penutupan terjadi di daerah pedesaan, di mana sekitar 88 persen dari sekolah yang ditutup berada di wilayah ini. Hal ini menyoroti ketidakmerataan populasi yang semakin berkurang di kawasan luar kota.

Ternyata, angka penutupan sekolah di Korea Selatan sangat mencolok jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Dalam lima tahun terakhir, jumlah sekolah yang ditutup tidak pernah mencapai angka setinggi ini.

Pada tahun 2020, misalnya, hanya ada 33 sekolah yang ditutup. Angka tersebut kemudian menurun menjadi 24 pada tahun 2021, 25 pada tahun 2022, dan 22 pada tahun 2023. Namun, tren tersebut kembali meningkat menjadi 49 sekolah yang direncanakan untuk ditutup pada tahun ini, menandakan adanya krisis yang semakin mendalam.

Dalam hal distribusi geografi, menarik untuk dicatat bahwa tidak ada sekolah yang ditutup di ibu kota, Seoul. Sementara Provinsi Jeolla Selatan mencatat jumlah tertinggi dalam penutupan, yakni 10 sekolah yang akan ditutup, diikuti oleh Provinsi Chungcheong Selatan dengan sembilan sekolah yang terpaksa ditutup. Ini menunjukkan adanya konsentrasi masalah di daerah tertentu, terutama di luar pusat kota yang biasanya lebih ramai.

Menggali lebih dalam ke dalam data tersebut, dari total 49 sekolah yang dijadwalkan tutup, sebanyak 38 di antaranya adalah sekolah dasar. Ini menunjukkan bahwa anak-anak di usia dini tidak memiliki cukup tempat yang layak untuk mendapatkan pendidikan, yang tentunya akan berdampak langsung pada kualitas generasi mendatang.

Sementara itu, delapan sekolah merupakan sekolah menengah pertama dan tiga adalah sekolah menengah atas. Dengan semakin sedikitnya sekolah, kawasan pedesaan akan menghadapi tantangan besar dalam menyediakan akses pendidikan yang layak bagi anak-anak mereka.

Di sisi lain, fenomena penutupan sekolah ini juga memunculkan kekhawatiran tentang kualitas pendidikan dan kesenjangan pendidikan di Korea Selatan. Dalam satu tahun terakhir, sebanyak 112 sekolah dasar di seluruh negeri tidak menerima siswa baru.

Ini menandakan bahwa banyak sekolah yang tidak lagi diminati oleh masyarakat, baik karena faktor lokasi, kualitas pendidikan, atau bahkan kurangnya jumlah siswa. Berdasarkan data yang dirilis oleh kementerian, Provinsi Jeolla Utara menempati posisi teratas dengan jumlah sekolah dasar yang tidak menerima siswa baru, mencapai angka 34 sekolah.

Fenomena ini tentu tidak bisa dipisahkan dari kondisi sosial dan ekonomi di Korea Selatan. Dengan meningkatnya biaya hidup dan perumahan, serta beban pendidikan yang semakin tinggi, banyak pasangan muda merasa tertekan untuk membawa anak ke dunia ini.

Mereka lebih memilih untuk fokus pada karier dan pengembangan diri dari pada berkomitmen untuk membangun sebuah keluarga. Dalam konteks yang lebih luas, hal ini menunjukkan perubahan paradigma yang terjadi di masyarakat, di mana nilai-nilai tradisional tentang pernikahan dan keluarga mulai berkurang.

Di samping itu, pemerintah Korea Selatan sedang berupaya untuk menemukan solusi terhadap masalah krisis populasi ini. Berbagai inisiatif telah diperkenalkan untuk mendorong angka kelahiran, termasuk pemberian insentif bagi pasangan yang memiliki anak, program cuti melahirkan yang lebih baik, dan dukungan bagi pendidikan anak. Namun, dampak dari kebijakan-kebijakan tersebut belum sepenuhnya terlihat, dan masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved