Kiamat Demografi Jepang: Saat Hanya Ada Satu Anak di Tahun 2720, Apa yang Bisa Dilakukan?
Tanggal: 22 Jan 2025 10:26 wib.
Pakar demografi Jepang, Hiroshi Yoshida, baru-baru ini mengeluarkan peringatan yang sangat mencemaskan mengenai masa depan negaranya tersebut. Jika tren penurunan angka kelahiran di Jepang terus berlanjut seperti saat ini, maka pada 5 Januari 2720, Jepang hanya akan memiliki satu orang anak di bawah usia 14 tahun.
Peringatan ini disampaikan melalui jam konseptual yang dirancang oleh Yoshida untuk menyoroti penurunan drastis jumlah anak di Jepang. Jam ini menunjukkan jumlah anak di Jepang setiap tahun dan melacak penurunan populasi secara real-time, dengan menghitung penurunan jumlah anak dari tahun ke tahun.
Jam tersebut menggunakan data populasi resmi dari Biro Statistik Jepang untuk menghitung tingkat penurunan jumlah anak. Dengan menganalisis data ini, jam tersebut memperkirakan kapan jumlah anak di Jepang akan mencapai titik kritis, yaitu hanya ada satu anak pada tahun 2720, yang berarti dalam 695 tahun ke depan.
Prediksi ini didasarkan pada angka penurunan tahunan yang signifikan dan memperhitungkan data terbaru yang menunjukkan penurunan sebesar 2,3 persen.
Hiroshi Yoshida, seorang profesor di Pusat Penelitian Ekonomi dan Masyarakat Lanjut Usia Universitas Tohoku, telah merilis perkiraan ini setiap tahun sejak April 2012. Perkiraan-perkiraan ini didasarkan pada data yang mencerminkan penurunan tahunan populasi anak-anak di Jepang.
Dengan semakin menurunnya jumlah kelahiran, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai angka kritis ini semakin mendekat. Perhitungan terbaru bahkan menunjukkan bahwa prediksi tahun ini bergerak lebih cepat, memprediksi bahwa angka kritis tersebut akan tercapai lebih dari 100 tahun lebih cepat dari perkiraan yang dibuat pada tahun 2023.
Tujuan dari jam waktu nyata yang dirancang oleh Yoshida adalah untuk meningkatkan kesadaran publik tentang penurunan populasi anak-anak yang terjadi sangat cepat di Jepang.
Jam ini dirancang untuk membuat orang-orang lebih peka terhadap dampak jangka panjang dari penurunan angka kelahiran, terutama terhadap sektor sosial dan ekonomi negara tersebut.
Penurunan jumlah anak di Jepang memiliki implikasi yang lebih luas, termasuk ketidakstabilan demografi, berkurangnya tenaga kerja di masa depan, dan peningkatan jumlah lansia yang membutuhkan perawatan.
Penurunan angka kelahiran di Jepang telah mencapai titik terendah yang mengkhawatirkan. Pada 2023, tingkat kelahiran di negara ini tercatat hanya 1,20, sebuah angka yang jauh di bawah angka penggantian populasi yang ideal. Bahkan, jumlah kelahiran di Tokyo pada tahun tersebut berada di bawah satu.
Fenomena ini berkaitan erat dengan semakin sedikitnya orang yang memilih untuk menikah, serta meningkatnya jumlah orang yang memilih hidup melajang dan menunda pernikahan hingga usia yang lebih tua.
Selain itu, data terbaru menunjukkan bahwa kelahiran di Jepang selama paruh pertama tahun 2024 turun ke level terendah sejak 1969. Dari Januari hingga Juni 2024, tercatat hanya 350.074 kelahiran, sebuah penurunan sebesar 5,7 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2023.
Laporan tersebut juga menunjukkan penurunan yang serupa di tahun 2023, yang mencatat penurunan 3,6 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Penurunan ini memperlihatkan tren yang semakin mengkhawatirkan dan menunjukkan bahwa masalah ini tidak hanya bersifat sementara, tetapi lebih kepada perubahan sosial yang lebih besar di Jepang.
Pemerintah Jepang kini sedang berjuang mati-matian untuk mengatasi masalah penurunan angka kelahiran ini. Mereka menyebut penurunan angka kelahiran sebagai salah satu tantangan paling besar yang harus dihadapi negara tersebut.
Sejumlah langkah luar biasa telah diambil untuk mendorong pasangan muda untuk memiliki lebih banyak anak, termasuk insentif keuangan dan kebijakan yang mendukung keseimbangan kerja dan kehidupan keluarga. Namun, meskipun berbagai langkah sudah diterapkan, tampaknya masalah ini semakin memburuk seiring berjalannya waktu.
Penurunan jumlah anak di Jepang bukan hanya masalah demografi, tetapi juga masalah sosial dan ekonomi yang sangat besar. Dengan semakin sedikitnya jumlah anak yang lahir, Jepang akan menghadapi tantangan besar dalam memastikan ketersediaan tenaga kerja di masa depan.
Hal ini dapat menyebabkan peningkatan ketergantungan pada tenaga kerja asing dan memperburuk beban sosial yang sudah tinggi akibat meningkatnya jumlah lansia.
Ketika jumlah anak terus menurun, negara tersebut juga harus menghadapi kenyataan bahwa semakin sedikit generasi muda yang akan mendukung dan merawat generasi yang lebih tua.
Sistem pensiun dan layanan kesehatan juga bisa mengalami tekanan yang sangat besar jika tidak ada cukup banyak orang muda untuk mendukungnya. Oleh karena itu, meskipun pemerintah Jepang telah mengambil berbagai langkah untuk mengatasi masalah ini, tantangan yang dihadapi sangat kompleks dan memerlukan solusi yang lebih radikal.