Kasus Gizi Buruk di Indonesia Timur Picu Penyakit Stunting
Tanggal: 4 Nov 2017 17:46 wib.
Tampang.com - Asupan pangan menjadi salah satu input pembentuk modal manusia. Hal itu sangat berpengaruh pada kesehatan dan pendidikan di masa depan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia(LIPI) merilis satu dari tiga orang anak Indonesia mengidap stunting atau tumbuh pendek. Hal ini dipengaruhi oleh faktor gizi buruk.
”Masalah stunting ini memiliki dampak panjang, selain pada kesehatan juga pada capaian pendidikan dan produktifitas kerja," ujar Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI Esta Lestari di kantornya, Jumat(3/11).
Dia menjelaskan, stunting pada anak sangat dipengaruhi kualitas asupan pangan. Kasus stunting, menurut Esta banyak ditemukan di daerah dengan ketersediaan pangan minim, juga daerah rawan pangan. ”Ini banyak di Indonesia Timur seperti Papua, NTT dan daerah kepulauan,” beber Esta.
Kendati, daerah rawan pangan di Indonesia relatif turun, tetapi angka stunting anak relatif meningkat. Seperti Provinsi Nusa Tenggara Timur(NTT), daerah ini memiliki kasus stunting tertinggi di Indonesia. Dari dua anak di NTT, satu anak menderita stunting.
Esta mengatakan, kecenderungan angka stunting naik bukan saja dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Faktanya, penderita stunting kini banyak menyasar anak dari kelompok ekonomi menengah. " Kalau dulu, stunting ditemukan pada kelompok masyarakat miskin, tapi kini angkanya naik di kelompok masyarakat ekonomi menengah,” jelasnya.
Pada kasus tersebut, menurut Esta disebabkan oleh pola konsumsi pangan yang salah. Pola konsumsi masyarakat ekonomi menengah ini banyak dipengaruhi oleh minimnya pengetahuan. ”Ini bisa kita atasi dengan memberikan informasi atau pendampingan,” katanya.
Lebih jauh Esta mengungkapkan, ketahanan pangan Indonesia banyak mengalami kebocoran. Akibatnya, gap ketersediaan pangan dan hasil produksi relatif tinggi. Data dari LIPI menyebutkan, hasil produksi beras pada tahun 2013 mencapai 70 juta Ton dengan ketersediaan pangan mencapai 40 juta Ton. Sementara pada tahun 2014 produksi beras kurang lebih 70 juta Ton, dengan ketersediaan beras kurang dari 40 juta Ton.
” Kebocoran pangan kita masih sangat tinggi. Salah satu faktor penyebabnya pada sarana pascapanen,” ujar Esta.
Menurut Esta, penyebab gap yang relatif tinggi antara produksi dan ketersediaan pangan karena minimnya upaya pemerintah daerah untuk memproduksi komoditas lain. Karena, data dari LIPI komoditas lokal tertinggi diproduksi hanya kelapa sawit, sementara yang lainnya tidak ada.
Esta mengungkapkan, rendahnya produksi lokal di daerah menyebabkan perubahan pola konsumsi masyarakat terhadap beras. Tentu saja, faktor infrastruktur juga berkontribusi pada pemerataan pangan di Indonesia. " Untuk beras, gejolak harga cenderung tinggi di Indonesia Timur dan kepulauan. Hal ini mendorong diversifikasi pangan," jelas Esta.
Faktor keterbatasan pangan khususnya beras, menurut Esta menimbulkan pola konsumsi masyarakat di Indonesia Timur seperti Papua beralih ke makanan siap saji. Apalagi, pemenuhan kebutuhan kelompok masyarakat miskin untuk makanan mencapai 60 persen.
”Jadi, stabilitas harga sangat penting untuk masyarakat ekonomi miskin,” katanya.
Data dari LIPI menyebutkan, kebutuhan beras masyarakat Indonesia untuk satu tahun sebesar 100 Kg/ orang. Jumlah ini jauh lebih tinggi, bila dibandingkan negara Thailand. Bukan hanya beras, kebutuhan tepung terigu untuk masyarakat Indonesia juga tinggi. Dalam satu tahun, setiap orang akan mengkonsumsi 15 Kg. ”Yang mengkuatirkan tepung terigu tidak bisa kita produksi. Jadi, selama ini kita bergantung dari impor,” bebernya.