Jepang Darurat, 2 "Kiamat" Sekaligus Hantam Negeri Sakura
Tanggal: 19 Sep 2024 18:15 wib.
Tampang.com | Jepang menghadapi dua "kiamat" sekaligus. Hal ini terkait dengan kurangnya tenaga kerja dan krisis demografi yang sedang melanda negara itu. Data pemerintah yang dirilis menjelang "Hari Penghormatan bagi Lansia" awal pekan ini menunjukkan bahwa populasi negara yang berusia 65 tahun ke atas telah meningkat ke angka tertinggi sepanjang masa, mencapai 36,25 juta.
Pada umumnya, populasi negara itu secara keseluruhan mengalami perlambatan signifikan. Tetapi, segmen mereka yang berusia 65 tahun ke atas telah tumbuh menjadi 29,3% dari populasi, yang merupakan bagian tertinggi dari negara mana pun.
Berdasarkan data dari Biro Statistik Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi, kekhawatiran muncul terkait pergeseran demografi dan kurangnya tenaga kerja di Jepang. Sebuah survei dari Teikoku Databank bulan lalu juga menunjukkan bahwa 51% perusahaan di seluruh sektor di Jepang merasa ada kekurangan karyawan penuh waktu. Fenomena ini sangat dirasakan di industri padat karya seperti layanan makanan.
Selain itu, jumlah pekerja Jepang yang berusia 65 tahun ke atas meningkat selama 20 tahun berturut-turut hingga mencapai rekor 9,14 juta pada tahun 2023. Menurut Institut Nasional Penelitian Kependudukan dan Jaminan Sosial, proporsi orang lanjut usia di Jepang diperkirakan akan terus meningkat, mencapai 34,8% pada tahun 2040.
Robert Feldman, Kepala ekonom di Morgan Stanley MUFG Securities, memperkirakan bahwa berdasarkan tren demografi masa lalu, total angkatan kerja dapat turun dari sekitar 69,3 juta pada tahun 2023 menjadi sekitar 49,1 juta pada tahun 2050.
Pemerintah Jepang telah menyadari kerugian ekonomi dan sosial yang dapat diakibatkan oleh tren ini dan telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasinya. Salah satu kebijakan yang dicanangkan adalah menyediakan lebih banyak dana untuk membesarkan anak dan mendukung lebih banyak fasilitas penitipan anak di negara tersebut, guna meningkatkan angka kelahiran. Demi mendukung hal ini, pemerintah daerah bahkan telah mengambil langkah-langkah untuk mendukung aplikasi kencan publik yang ditujukan untuk mengajak orang Jepang bergaul, menikah, dan memiliki anak.
Namun, disadari bahwa hanya dengan meningkatkan angka kelahiran tidak akan cukup untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja dalam jangka pendek. Oleh karena itu, Jepang secara bertahap juga mulai membuka diri terhadap lebih banyak migrasi selama beberapa tahun terakhir. Upaya ini mencapai rekor 2 juta pekerja asing pada tahun 2024 dan mengincar hingga 800.000 lebih banyak selama lima tahun ke depan.
Peningkatan jumlah pekerja kelahiran luar negeri diharapkan dapat mengimbangi penurunan jumlah tenaga kerja domestik dalam beberapa dekade mendatang. Namun, implementasi dari strategi ini memerlukan perhatian besar terkait produktivitas pekerja, penerapan teknologi baru seperti kecerdasan buatan (AI), dan otomatisasi.
Dalam merespon masalah ini, Jepang juga harus fokus pada inovasi dan kegiatan penelitian untuk meningkatkan produktivitas para pekerja, terutama dalam menghadapi penurunan jumlah angkatan kerja. Jepang sendiri telah mengenakan pajak atas konsumsi untuk mendorong produktivitas dan inovasi di sektor usaha.
Melihat dari sisi lain, kondisi ini juga menarik perhatian untuk dilihat dari pengaruhnya terhadap ekonomi global. Jepang telah lama menjadi salah satu motor penggerak ekonomi regional dan global. Namun, dengan kondisi demografi yang menurun dan krisis tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi negara ini kemungkinan akan terhambat. Hal ini dapat berdampak tidak hanya pada Jepang sendiri tetapi juga pada kawasan Asia secara keseluruhan.
Kedua "kiamat" yang dihadapi oleh Jepang merupakan tantangan serius bagi pemerintah dan masyarakatnya. Langkah-langkah tegas dan tepat perlu segera diambil untuk menanggulangi krisis demografi dan kurangnya tenaga kerja ini. Bukan hanya sebagai upaya pemulihan, tetapi juga untuk menjamin keberlanjutan Jepang sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia. Inovasi, kebijakan yang mendukung angka kelahiran, serta kebijakan migrasi yang bijak dapat menjadi kunci solusi bagi negara ini dalam menghadapi dua "kiamat" yang sedangmelanda.