Dua Negara Afrika Bantai Gajah Demi Atasi Kelaparan
Tanggal: 13 Okt 2024 05:51 wib.
Pemerintah Namibia dan Zimbabwe memutuskan untuk membantai sejumlah gajah demi menyelamatkan warganya yang menderita kelaparan. Hal ini telah menimbulkan polemik di kalangan masyarakat internasional terkait dengan keputusan yang diambil oleh kedua negara Afrika tersebut. Menurut laporan CNN International pada Sabtu (12/10/2024), Namibia mulai melakukan pembantaian pada Agustus dengan jumlah hewan yang dibunuh mencapai 723, termasuk 83 gajah, 30 kuda nil, serta 300 zebra. Sementara itu, Zimbabwe memberikan izin untuk membunuh 200 gajah bulan berikutnya.
Kedua pemerintah berargumen bahwa aksi ini diambil sebagai upaya untuk meringankan dampak bencana kelaparan yang disebabkan oleh kekeringan. Keadaan tersebut diklaim sebagai yang terburuk dalam 100 tahun terakhir di wilayah mereka. Selain itu, pemerintah juga berdalih bahwa langkah ini diambil untuk mengurangi konflik antara manusia dan hewan terkait dengan sumber pangan.
Namun, pembantaian ini telah menuai kritik tajam dari berbagai pihak di tingkat internasional. Di antara para kritikus, mereka mengkhawatirkan keberlanjutan populasi gajah di masa depan. Baik Namibia maupun Zimbabwe menegaskan bahwa tindakan mereka tidak akan mengancam kelangsungan hidup jangka panjang populasi hewan liar tersebut. Mereka mengklaim bahwa langkah tersebut sebenarnya bertujuan untuk melindungi hewan yang tersisa, mengingat kekeringan yang mengurangi sumber makanan dan air.
Pemburu profesional akan menjadi pelaksana utama pembantaian hewan di Zimbabwe dan sebagian wilayah Namibia. Mereka menjelaskan bahwa hewan-hewan tersebut akan ditembak, kebanyakan pada malam hari dengan peralatan tekhnologi canggih guna mendekati dan menembaknya dengan efektif.
Chris Brown, seorang ilmuwan lingkungan di Kamar Dagang Namibia, menjelaskan proses tersebut sebagai langkah yang terbilang manusiawi, berbeda dengan perlakuan terhadap hewan ternak yang dijejalkan ke dalam truk sebelum dibunuh di rumah pemotongan hewan. Daging dari hewan-hewan tersebut kemudian didistribusikan kepada mereka yang membutuhkan.
Sebagai tambahan, Brown juga menjelaskan bahwa meskipun gajah merupakan pemandangan yang berharga di kebun binatang, namun keberadaannya dapat menjadi sumber bahaya bagi warga yang tinggal di dekatnya. Di Namibia, memiliki sekitar 21.000 gajah, beberapa daerah memiliki begitu banyak gajah sehingga menjadi hampir tidak dapat ditoleransi oleh manusia. Gajah disebut merusak tanaman, melukai ternak, dan bahkan membunuh orang.
Sebelumnya, Namibia telah berusaha menjual gajah-gajah tersebut namun hanya berhasil menjual sepertiganya dari total yang ditawarkan. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang ketersediaan pasar untuk gajah yang dianggap mengganggu tersebut. Penjualan gajah dilakukan sebagai upaya untuk mengontrol populasi dan membuat daerah yang terlalu padat dengan gajah menjadi lebih dapat diterima oleh masyarakat setempat.
Namun, beberapa ahli konservasi khawatir bahwa jumlah populasi gajah yang sebenarnya telah dibesar-besarkan oleh pemerintah. Farai Maguwu, direktur pendiri Centre for Natural Resource Governance, menyebut argumentasi tersebut tidak memperhitungkan fakta bahwa gajah berkeliaran bebas di antara negara-negara di kawasan tersebut.
Masalah utama di balik konflik ini sebenarnya terletak pada pengelolaan lahan yang buruk dan peningkatan pemukiman manusia di sekitar taman nasional dan zona penyangga, yang sebenarnya dirancang untuk memisahkan hewan dan manusia.
Sejalan dengan hal tersebut, para pegiat konservasi juga menyuarakan kekhawatiran atas dampak ekologi yang mungkin terjadi akibat pembunuhan hewan liar. Mereka mengingatkan bahwa keberadaan gajah memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem di wilayah tersebut. Selain itu, pembunuhan hewan liar juga dapat meningkatkan konflik antara manusia dan gajah. Elisabeth Valerio, operator safari dan pegiat konservasi di Taman Hwange, Zimbabwe, mengingatkan bahwa trauma akibat anggota keluarga yang terbunuh dapat membuat gajah menjadi lebih agresif.
Kontroversi ini terus bergulir di pentas internasional, di mana keputusan pemerintah Namibia dan Zimbabwe untuk membantai gajah demi menyelamatkan warganya yang kelaparan menuai berbagai reaksi dari berbagai kalangan, termasuk organisasi konservasi hewan dan pengamat ekologi.
Keputusan tersebut memperlihatkan betapa sulitnya menemukan keseimbangan antara melindungi hewan liar dan memenuhi kebutuhan manusia dalam situasi bencana kelaparan. Penilaian terhadap keputusan ini masih akan terus berkembang, sementara kedua pihak terus menghadapi tekanan dari berbagai pihak baik di dalam maupun di luar negeri.