Sumber foto: iStock

Di Balik Kecanggihan Teknologi China: Fakta Mengejutkan tentang Kematian Ilmuwan karena Beban Kerja Ekstrem

Tanggal: 28 Mei 2025 11:26 wib.
China dikenal sebagai salah satu negara dengan laju perkembangan teknologi dan sains tercepat di dunia. Di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping, berbagai inovasi besar telah lahir — mulai dari kecerdasan buatan, energi terbarukan, hingga teknologi ruang angkasa. Namun di balik kejayaan dan deretan pencapaian tersebut, tersimpan sisi kelam yang kini menjadi sorotan publik internasional.

Fenomena memilukan mulai terungkap: sejumlah ilmuwan terkemuka di China dilaporkan meninggal dunia, dan penyebabnya diduga terkait dengan beban kerja yang sangat tinggi dan tidak manusiawi. Kasus-kasus kematian ini menyoroti tekanan besar yang harus dihadapi oleh para ilmuwan dan akademisi di negara tersebut.

Salah satu kasus yang mengguncang adalah meninggalnya Li Haibo, seorang profesor muda berbakat dari Universitas Ningxia. Li menghembuskan napas terakhirnya di usia 41 tahun, usia yang relatif muda untuk seorang ilmuwan produktif. Jiupai News — sebuah media lokal dari Wuhan — melaporkan bahwa kematiannya terjadi secara mendadak karena penyakit, namun banyak pihak menduga bahwa penyebab utamanya adalah tekanan kerja ekstrem.

Li bukan sembarang akademisi. Ia merupakan pakar di bidang material nano, elektrokimia, dan material optoelektronik, dengan fokus penelitian pada baterai lithium, ion sodium, serta teknologi desalinasi air laut. Dalam kurun waktu kurang dari dua dekade, ia telah menerbitkan lebih dari 100 makalah ilmiah di jurnal internasional, memiliki 16 hak paten di China dan satu di Amerika Serikat. Capaian luar biasa ini menjadikannya masuk dalam daftar 2% ilmuwan paling berpengaruh di dunia versi Stanford University pada tahun 2023.

Namun, di balik prestasinya yang mengesankan, Li pernah mengungkapkan realita pahit dari kehidupannya sebagai ilmuwan. Dalam sebuah wawancara, ia mengaku hanya tidur empat hingga lima jam per hari dan harus berkutat dengan ratusan jurnal ilmiah yang harus dikaji. Ini mencerminkan gaya hidup yang sangat tidak sehat dan membuat sistem tubuh rentan terhadap kelelahan kronis serta penyakit serius.

Lebih ironis lagi, tidak ada upacara penghormatan atau obituari resmi atas kepergiannya, sebuah perlakuan yang sangat disayangkan untuk sosok yang telah berkontribusi besar pada dunia riset dan pendidikan.

Kematian Li Haibo bukanlah kasus tunggal. Dalam beberapa waktu terakhir, sejumlah ilmuwan lainnya juga dilaporkan meninggal dunia dalam usia produktif. Contohnya, Li Zhiming, profesor arsitektur lanskap dari Universitas Kehutanan Nanjing, yang meninggal bulan lalu. Keluarganya mengeluarkan surat pernyataan yang menuding bahwa tekanan kerja berlebihan menjadi faktor utama kematiannya.

Kasus lainnya menimpa Yang Bingyou, wakil presiden Universitas Heilongjiang, yang wafat pada usia 54 tahun. Seperti halnya Li dan Zhiming, penyebab kematiannya pun disebut akibat penyakit, meskipun sejumlah pihak menduga bahwa akumulasi beban kerja dalam jangka panjang berperan besar dalam menurunkan kondisi kesehatannya.

Berbagai kematian ini menimbulkan kekhawatiran serius mengenai kesejahteraan dan kesehatan mental para ilmuwan di China. Meski mereka dipuja atas kontribusinya terhadap kemajuan negara, nyatanya perlindungan terhadap hak-hak dasar mereka sebagai manusia masih sering terabaikan. Mereka dituntut untuk terus menghasilkan karya ilmiah, mencetak paten, hingga membimbing generasi baru, tanpa adanya keseimbangan antara waktu kerja dan waktu istirahat.

Fenomena ini pun mulai memicu diskusi hangat di kalangan akademisi dan masyarakat luas. Banyak pihak menyerukan agar pemerintah dan institusi pendidikan di China segera mengevaluasi sistem kerja yang ada, serta memastikan bahwa para ilmuwan dapat menjalankan profesinya tanpa harus mengorbankan kesehatan dan kehidupan pribadi mereka.

Ilmuwan bukanlah mesin atau robot yang bisa terus dipacu tanpa batas. Mereka tetap manusia biasa yang memiliki batas fisik dan emosional. Tekanan berlebih tidak hanya membahayakan individu yang bersangkutan, tapi juga dapat berdampak negatif pada kualitas riset jangka panjang. Ketika ilmuwan dipaksa bekerja dalam lingkungan yang toksik, kreativitas dan inovasi justru akan terganggu.

Kematian para ilmuwan ini menjadi peringatan keras tentang bahaya budaya kerja berlebihan. Tak hanya di China, fenomena ini juga menjadi refleksi penting bagi dunia pendidikan dan riset global. Bahwa di tengah tuntutan kemajuan, penting untuk menempatkan keseimbangan hidup sebagai prioritas utama.

Masyarakat internasional, termasuk lembaga-lembaga akademik di luar China, turut menyuarakan keprihatinan dan menyampaikan duka atas kejadian ini. Banyak pihak berharap agar tragedi ini tidak berulang dan menjadi titik balik untuk memperbaiki sistem kerja yang lebih manusiawi bagi para peneliti.

Kini saatnya dunia mengakui bahwa di balik setiap pencapaian teknologi, ada manusia yang bekerja keras untuk mewujudkannya. Dan sudah seharusnya, kerja keras tersebut dihargai dengan lingkungan kerja yang sehat, adil, dan berkelanjutan.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved