Sumber foto: ABC News - The Walt Disney Company

Deportasi Massal Era Trump: WNI Terancam, Aplikasi ‘CBP Home’ Jadi Solusi?

Tanggal: 16 Mar 2025 14:07 wib.
Tampang.com | Pemerintahan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump telah mengedepankan kebijakan yang menargetkan penghapusan imigran ilegal. Sejak dilantik pada 20 Januari 2025, fokus utama pemerintahannya adalah menindak tegas pelanggaran imigrasi yang terjadi di negara tersebut.

Hingga saat ini, telah sekitar 8.000 imigran ditangkap dan proses deportasi berlangsung secara bertahap. Salah satu kelompok yang terkena dampak dari kebijakan ini adalah warga negara Indonesia (WNI).

Berdasarkan data per 24 November 2024, terdapat 4.276 WNI terdaftar dalam kategori "final order of removal” yang dikeluarkan oleh Imigrasi dan Bea Cukai AS (ICE). Dengan demikian, mereka berisiko untuk dideportasi dari Amerika Serikat. Salah satu contoh yang mencolok adalah seorang WNI yang tinggal di San Francisco yang telah dideportasi. Situasi ini menunjukkan bahwa imigrasi Indonesia di AS berada dalam posisi yang rentan.

Dalam upaya mengatasi masalah ini, pemerintah Trump baru-baru ini meluncurkan aplikasi bernama 'CBP Home' yang ditujukan untuk memberikan alternatif bagi imigran ilegal agar dapat melaporkan diri dan pulang secara sukarela tanpa harus menghadapi proses penangkapan.

Aplikasi ini dirancang untuk memberikan kesempatan kepada para imigran yang mungkin merasa terjebak dalam situasi yang sulit untuk mengembalikan diri ke negara asal mereka dengan cara yang lebih mulus.

Menteri Keamanan Dalam Negeri, Kristi Noem, mengatakan bahwa aplikasi CBP Home ini memberikan opsi bagi para imigran untuk "melakukan deportasi mandiri." Dalam pernyataannya yang disampaikan pada Selasa, 11 Maret 2025, ia menegaskan, "Dengan cara ini, mereka memiliki peluang untuk kembali ke AS secara legal di masa depan tanpa harus menjalani proses hukum yang berbelit-belit." Hal ini menunjukkan adanya kesadaran dari pemerintah untuk memberikan jalan keluar bagi imigran yang ingin kembali ke negara asal mereka.

Namun, Noem juga memperingatkan bahwa jika para imigran tidak melapor dan menyerahkan diri, pihak berwenang akan tetap melanjutkan proses penangkapan dan deportasi. "Kami akan menemukan mereka, melakukan deportasi, dan tidak akan membiarkan mereka kembali," lanjutnya. Ini mengindikasikan betapa ketatnya regulasi yang ditetapkan oleh pemerintahan Trump, yang mulai berlaku pada 11 April 2025.

Awalnya, aplikasi CBP Home ini menggantikan aplikasi CBP One yang diluncurkan oleh pemerintahan Joe Biden. Aplikasi CBP One sebelumnya memiliki fitur yang memungkinkan sekitar satu juta migran yang terjebak di Meksiko untuk menjadwalkan janji temu guna meminta izin masuk di perbatasan resmi.

Namun, berbagai kontroversi muncul terkait dengan kebijakan tersebut, termasuk kritik dari politisi Republik yang merasa program Biden telah membuka pintu untuk migrasi massal ke AS dan tidak secara memadai menyeleksi apakah migran tersebut memenuhi syarat untuk masuk.

Setelah menjabat, Trump segera menonaktifkan aplikasi CBP One. Tindakan ini berakibat pada tertundanya banyak permohonan yang diajukan oleh migran, membuat situasi mereka semakin tidak menentu. Keputusan ini mengindikasikan bahwa pendekatan terhadap masalah imigrasi akan sangat dipengaruhi oleh politik dan kebijakan setempat, yang bisa berubah secara drastis tergantung pada siapa yang sedang menjabat di Gedung Putih.

Dalam konteks ini, sekitar 4.000 WNI yang terancam deportasi tidak hanya menghadapi masalah hukum, tetapi juga harus mempertimbangkan bagaimana mereka dapat menjalani hidup dengan lebih baik jika kembali ke Indonesia. Mempertimbangkan kondisi mereka, banyak dari mereka mungkin akan menghadapi berbagai tantangan baik dari segi ekonomi maupun sosial.

Tindakan terbaru ini bukan sekadar regulasi ketat, tetapi juga mencerminkan arah kebijakan imigrasi Trump yang lebih berorientasi pada kontrol ketat atas masuknya para imigran ke AS. Mengingat di antara mereka terdapat komunitas-komunitas kecil yang telah berkontribusi pada ekonomi dan budaya di AS, kebijakan ini memiliki dampak yang sangat luas. Imigran ilegal sering kali bekerja di sektor-sektor yang krusial, seperti pertanian, konstruksi, dan layanan, yang menunjukkan bahwa keberadaan mereka tidak dapat diabaikan meski status hukum mereka bermasalah.

Meskipun situasi ini menambah beban bagi banyak WNI yang ingin memperbaiki hidup, pemerintah AS mengklaim bahwa langkah-langkah ini diperlukan untuk menjaga keamanan dan ketertiban.

Namun, hasil akhirnya masih menimbulkan tanda tanya tentang bagaimana masa depan bagi banyak imigran, termasuk WNI, yang telah membangun kehidupan baru di negara tersebut. Seiring berjalannya waktu, kesinambungan atau pemutusan hubungan antara mereka dengan AS akan menjadi fokus utama dalam perdebatan mengenai kebijakan imigrasi di negara itu.
Copyright © Tampang.com
All rights reserved