Dari Negara Miskin ke Kekuatan Udara Dunia: Bagaimana Jet Tempur J-10 Menjadi Simbol Kebangkitan Militer China
Tanggal: 25 Mei 2025 01:11 wib.
China kini dikenal sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia, menandingi dominasi lama yang dipegang oleh Amerika Serikat (AS). Namun, di balik pencapaian ekonomi dan kekuatan teknologinya saat ini, ada perjalanan panjang dan penuh tantangan yang jarang diketahui publik. Salah satu simbol paling mencolok dari kebangkitan China adalah jet tempur J-10, hasil dari ambisi militer yang dibangun sejak puluhan tahun lalu.
Kembali ke era 1940-an, China masih termasuk dalam kategori negara miskin dengan infrastruktur dan teknologi yang sangat terbatas. Bahkan hingga awal 1980-an, statusnya masih sebagai negara berpendapatan rendah. Namun tekad pemerintah China untuk keluar dari ketertinggalan, khususnya dalam bidang pertahanan dan teknologi militer, menjadi pondasi dari transformasi besar-besaran yang terjadi kemudian.
Salah satu tokoh penting dalam upaya ini adalah Deng Xiaoping, pemimpin legendaris yang memimpin transisi ekonomi China. Di luar reformasi ekonomi, Deng juga memiliki visi kuat dalam pengembangan pertahanan nasional. Ia menyusun program ambisius untuk membangun jet tempur buatan dalam negeri. Menariknya, proyek ini tidak hanya bertujuan menciptakan pesawat perang, tetapi juga sebagai strategi jangka panjang untuk menyaingi kekuatan bom atom yang dimiliki negara-negara besar.
Namun, mewujudkan ambisi tersebut tidaklah mudah. Masa kepemimpinan Deng yang berlangsung selama 11 tahun ternyata tidak cukup untuk menyelesaikan proyek jet tempur tersebut. Tongkat estafet kemudian diambil oleh penerusnya, Presiden Jiang Zemin, yang secara terbuka menyatakan bahwa membangun jet tempur untuk China memiliki nilai strategis lebih besar dibandingkan mengembangkan bom atom.
Upaya ini akhirnya membuahkan hasil setelah hampir dua setengah dekade. China sukses meluncurkan J-10, jet tempur multifungsi yang mampu melakukan pertempuran udara ke udara dan serangan ke darat. Meskipun J-10 mulai aktif beroperasi sejak pertengahan tahun 2000-an, baru pada 7 Mei 2025, pesawat ini mencatatkan sejarah penting saat varian J-10C yang dioperasikan Pakistan berhasil menembak jatuh jet Rafale milik India, pesawat tempur canggih buatan Prancis. Momen ini menjadi penggunaan tempur pertama dalam sejarah J-10, sekaligus menunjukkan bahwa pesawat tersebut tidak hanya berfungsi di atas kertas, tetapi juga di medan perang nyata.
Pakistan sendiri merupakan satu-satunya negara selain China yang mengoperasikan J-10C, memperlihatkan betapa eksklusif dan strategisnya teknologi ini. Keputusan China untuk mengembangkan pesawatnya sendiri bukanlah karena keinginan semata, tetapi lebih karena kebutuhan. China tidak memiliki banyak pilihan untuk membeli pesawat tempur dari negara seperti AS, Rusia, atau Prancis, baik karena hambatan politik maupun embargo teknologi.
Seperti dijelaskan oleh Mauro Gilli, peneliti di Center for Security Studies dari Swiss Federal Institute of Technology, China sadar bahwa mereka harus bekerja lebih keras dan menginvestasikan lebih banyak sumber daya jika ingin membangun kemandirian dalam teknologi militer. “China memang tak pernah benar-benar punya pilihan untuk membeli dari mereka (AS dan sekutunya). Mereka harus berinvestasi besar dan bekerja keras membangun J-10,” ujar Gilli.
Pada awalnya, China sempat mendapatkan akses teknologi dari Barat pada awal 1980-an, saat hubungan dengan negara-negara Barat membaik. Mereka mempelajari berbagai sistem seperti radar dan rudal dari negara-negara maju. Namun, hubungan itu memburuk drastis setelah insiden Lapangan Tiananmen pada 1989, yang menyebabkan AS dan negara-negara Barat menjatuhkan sanksi dan mengakhiri kerja sama militer seperti program Peace Pearl.
Dalam situasi tersebut, China pun mengalihkan perhatian ke Uni Soviet dan Rusia. Setelah Uni Soviet runtuh, ekonomi Rusia melemah dan membuka peluang bagi Beijing untuk membeli berbagai sistem militer canggih. Teknologi inilah yang kemudian menjadi dasar penting dalam pengembangan J-10. Namun seiring waktu, ketergantungan tersebut berkurang karena China terus mengembangkan kemampuannya sendiri.
Kini, J-10 menjadi bukti bahwa China telah membangun ekosistem pertahanan udara mandiri. Pesawat ini diproduksi sepenuhnya di dalam negeri dengan teknologi lokal. Saat ditanya seberapa banyak elemen teknologi baru yang benar-benar dibuat oleh China dalam jet ini, Gilli menjawab bahwa pertanyaan itu kini sudah tidak relevan. "Saya akan katakan, 100% teknologi J-10 sekarang adalah milik China sendiri," ucapnya.
Perjalanan panjang dari ketergantungan teknologi asing menuju kemandirian total ini tidak hanya menunjukkan kebangkitan industri pertahanan China, tetapi juga memperlihatkan bagaimana strategi jangka panjang, komitmen terhadap investasi riset, dan pembelajaran dari berbagai negara dapat mengantarkan sebuah negara ke panggung kekuatan militer global.
Jet J-10 bukan hanya sebuah produk teknologi, tetapi simbol tekad sebuah bangsa untuk keluar dari ketergantungan, membangun kekuatan sendiri, dan menjadi penantang serius di tatanan geopolitik dunia. Dengan keberhasilan ini, China tidak hanya mencetak sejarah di bidang militer, tetapi juga membuka babak baru dalam persaingan teknologi dan pertahanan global.