Bukan Selingkuh, Ini Penyebab Perceraian Terbesar di Dunia yang Jarang Diketahui!
Tanggal: 14 Mei 2025 18:37 wib.
Angka perceraian yang terus meningkat menjadi perhatian serius di berbagai negara, termasuk Indonesia. Belakangan ini, isu tersebut kembali mencuat ke permukaan dan memantik perdebatan di ruang publik. Bahkan, Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar menyuarakan perlunya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurutnya, hukum pernikahan tak seharusnya hanya mengatur aspek formal pernikahan, tetapi juga perlu memperhatikan keberlanjutan dan pelestarian hubungan suami istri.
Pernikahan sejatinya bukan hanya urusan pribadi pasangan, tetapi juga menyangkut stabilitas sosial. Maka, negara dinilai harus hadir bukan hanya saat ijab kabul berlangsung, melainkan juga turut serta menjaga agar rumah tangga tetap harmonis dan tidak mudah goyah.
Salah Kaprah tentang Penyebab Perceraian
Banyak orang beranggapan bahwa perselingkuhan adalah alasan utama di balik runtuhnya banyak rumah tangga. Namun, laporan dari Forbes Advisor membantah asumsi tersebut. Dalam survei global yang mereka himpun, konflik nomor satu yang memicu perceraian ternyata bukan soal orang ketiga. Justru, akar permasalahan paling umum adalah minimnya dukungan dari keluarga terhadap pasangan yang menikah.
Kurangnya dukungan ini bisa muncul dalam banyak bentuk: tekanan dari keluarga besar, ketidaksetujuan terhadap pasangan, atau bahkan campur tangan yang berlebihan dalam urusan rumah tangga. Semua itu menjadi sumber stres yang jika tidak diselesaikan dengan komunikasi yang sehat, bisa berujung pada perceraian.
Negara dengan Tingkat Perceraian Tertinggi di Dunia
Data dari World Population Review mencatat sejumlah negara dengan tingkat perceraian tertinggi di dunia (dihitung per 1.000 penduduk per tahun). Berikut adalah 13 negara teratas:
Maldives - 5,52
Kazakhstan - 4,6
Rusia - 3,9
Belarusia - 3,7
Belgia - 3,7
Moldova - 3,3
Cina - 3,2
Kuba - 2,9
Ukraina - 2,88
Denmark - 2,7
Latvia - 2,7
Lituania - 2,7
Amerika Serikat - 2,7
Tingkat perceraian tertinggi secara global tercatat di Maladewa, negara kecil di Asia Selatan. Pada tahun 2020, negara ini mencatat 2.984 kasus perceraian dari populasi sekitar 540.000 jiwa—atau sekitar 5,52 perceraian per 1.000 orang. Uniknya, angka ini sebenarnya sudah menurun drastis dibandingkan tahun 2002 yang mencapai 10,97 perceraian per 1.000 orang. Karena tingginya angka perceraian, Maladewa bahkan pernah masuk dalam Guinness World Records.
Apa yang menyebabkan tingginya perceraian di negara ini? Salah satu penjelasan yang sering dikemukakan adalah norma budaya yang melarang hubungan fisik di luar pernikahan, namun di sisi lain, prosedur untuk menikah dan bercerai sangat mudah. Akibatnya, pasangan cenderung menikah terburu-buru, dan ketika menghadapi konflik, lebih cepat pula memutuskan untuk berpisah.
Kazakhstan, negara bekas Uni Soviet, menempati urutan kedua dengan tingkat perceraian 4,6 per 1.000 orang. Negara-negara Eropa Timur lainnya seperti Rusia, Belarusia, dan Moldova juga masuk dalam daftar ini.
Negara dengan Tingkat Perceraian Terendah
Sementara itu, beberapa negara mencatat tingkat perceraian yang jauh lebih rendah. Berikut adalah 15 negara dengan angka perceraian terendah per tahun:
Sri Lanka - 0,15
Guatemala - 0,20
Vietnam - 0,20
Saint Vincent & Grenadines - 0,40
Peru - 0,50
Afrika Selatan - 0,60
Chili - 0,70
Kolombia - 0,70
Irlandia - 0,70
Malta - 0,70
Panama - 0,70
Qatar - 0,70
Saint Lucia - 0,70
Uni Emirat Arab - 0,70
Venezuela - 0,70
Namun, angka yang rendah bukan berarti rumah tangga di negara-negara ini selalu bahagia. Sebaliknya, di banyak kasus, proses perceraian bisa jadi sangat sulit dan mahal secara hukum, atau ada tekanan sosial dan budaya yang membuat terutama perempuan tidak berani meninggalkan pernikahan yang tidak sehat.
Di beberapa tempat, istri yang ingin bercerai harus menghadapi stigma, kesulitan finansial, atau bahkan ancaman terhadap keselamatan diri dan anak-anaknya. Dengan demikian, rendahnya angka perceraian bukanlah satu-satunya indikator keharmonisan rumah tangga.
Perlunya Perhatian Serius terhadap Pelestarian Pernikahan
Melihat data dan kondisi tersebut, Menag Nasaruddin Umar menegaskan bahwa negara harus ikut bertanggung jawab dalam menjaga keutuhan keluarga. Ia mendorong agar UU Perkawinan menyisipkan pasal khusus mengenai pelestarian pernikahan, agar pasangan suami istri bisa mendapatkan dukungan nyata ketika menghadapi persoalan rumah tangga.
Bukan hanya memberikan pelatihan sebelum menikah, negara juga diharapkan dapat menyediakan ruang konseling pasca-menikah, termasuk membantu pasangan menghadapi tekanan dari keluarga besar atau ketidakharmonisan internal yang bisa memicu perceraian.
Ke depan, solusi terhadap tingginya angka perceraian tidak hanya bisa diserahkan pada pasangan itu sendiri, tetapi juga perlu melibatkan pendekatan dari berbagai sektor—baik hukum, agama, maupun sosial.