Bocor Besar di Lingkaran Trump: Aplikasi Rahasia Pejabat AS Diretas, Ancaman Intelijen Mengintai?
Tanggal: 25 Mei 2025 21:36 wib.
Sebuah insiden keamanan siber yang mengejutkan mengungkap bahwa pelanggaran data yang melibatkan Mike Waltz, mantan penasihat keamanan nasional Donald Trump, ternyata hanyalah bagian kecil dari masalah yang jauh lebih besar. Awalnya dianggap sebagai serangan terbatas, kini terbukti bahwa skala peretasan tersebut jauh melampaui dugaan awal, melibatkan puluhan pejabat tinggi Amerika Serikat dari berbagai lembaga pemerintahan.
Laporan investigatif dari Reuters menemukan bahwa lebih dari 60 pejabat pemerintah AS menggunakan platform komunikasi bernama TeleMessage—layanan yang sebelumnya tidak terlalu dikenal di luar lingkup institusi pemerintahan dan keuangan. Data dari aplikasi tersebut bocor ke publik dan diungkap oleh Distributed Denial of Secrets, sebuah organisasi nirlaba yang berfokus pada transparansi data. Kebocoran ini menyajikan informasi mengkhawatirkan mengenai potensi ancaman terhadap keamanan nasional.
Data yang bocor mencakup komunikasi dari beragam institusi penting, mulai dari lembaga penanggulangan bencana (FEMA), Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan (CBP), staf diplomatik, hingga satu anggota staf Gedung Putih dan agen dari Secret Service. Informasi yang berhasil diakses mencakup pesan-pesan yang dikirim pada 4 Mei dan sekitarnya, meskipun banyak di antaranya bersifat terfragmentasi.
Awal keterlibatan TeleMessage dengan sorotan media terjadi pada 30 April 2025, saat Reuters mempublikasikan foto Mike Waltz sedang memeriksa aplikasi tersebut dalam sebuah pertemuan kabinet. Aplikasi ini merupakan versi modifikasi dari Signal, aplikasi komunikasi terenkripsi yang menekankan privasi tinggi. Sejak saat itu, TeleMessage mulai mendapat perhatian luas, terutama terkait penggunaannya oleh pejabat negara untuk percakapan sensitif.
Walaupun Reuters tidak dapat memverifikasi seluruh isi pesan dalam cache data yang bocor, mereka mengonfirmasi bahwa nomor telepon yang ditemukan memang sah milik para pejabat terkait. Bahkan, seorang penerima pesan mengonfirmasi bahwa isi pesan yang bocor benar adanya, sementara sebuah perusahaan jasa keuangan juga mengonfirmasi bahwa pesan mereka telah diretas dengan metode serupa.
Meski belum ditemukan konten yang sangat rahasia dari hasil kajian awal, beberapa pesan ternyata memuat rincian logistik perjalanan para pejabat penting. Misalnya, pembahasan terkait kunjungan resmi ke Vatikan dan diskusi mengenai rencana perjalanan ke Yordania. Informasi semacam ini, meskipun tidak tergolong ‘rahasia negara’, tetap dapat menjadi celah berbahaya jika dimanfaatkan oleh aktor siber atau agen intelijen asing.
Pasca insiden ini, layanan TeleMessage resmi ditangguhkan pada 5 Mei 2025 sebagai bagian dari investigasi. Smarsh, perusahaan yang mengoperasikan TeleMessage dan berbasis di Portland, Oregon, belum memberikan komentar resmi terkait kebocoran data tersebut.
Gedung Putih mengonfirmasi bahwa mereka mengetahui adanya pelanggaran keamanan siber yang terjadi di platform milik Smarsh, namun tidak bersedia memberikan informasi lebih lanjut mengenai tingkat penggunaan TeleMessage di internal pemerintah. Sementara itu, Kementerian Luar Negeri memilih bungkam, dan Secret Service mengakui bahwa beberapa stafnya memang menggunakan produk TeleMessage dan tengah mengevaluasi risiko yang ditimbulkan.
FEMA menyatakan bahwa mereka belum menemukan bukti bahwa data internal mereka disusupi, meskipun belum memberikan tanggapan atas salinan pesan-pesan yang telah bocor. CBP pun memberikan pernyataan singkat bahwa mereka sudah menonaktifkan penggunaan aplikasi tersebut dan tengah melakukan penyelidikan lebih lanjut.
Pakar keamanan siber Jake Williams, yang pernah bekerja di Lembaga Keamanan Nasional (NSA), menilai bahwa meskipun isi pesan yang bocor tidak bersifat sangat sensitif, metadata yang terkandung dalam komunikasi tersebut bisa sangat berbahaya. Ia menjelaskan bahwa pola komunikasi, waktu, lokasi, dan struktur jaringan sosial para pejabat dapat dieksploitasi untuk keperluan intelijen.
“Sekalipun kontennya tidak terlalu membahayakan, akses ke metadata ini merupakan jackpot bagi agen intelijen,” ungkap Williams kepada Reuters.
Sebelum kasus TeleMessage ini mencuat, Mike Waltz juga terlibat dalam kebocoran informasi dari grup percakapan di aplikasi Signal. Saat itu, ia secara tidak sengaja membocorkan diskusi rahasia mengenai operasi militer AS di Yaman, yang kemudian diakses oleh jurnalis. Akibat insiden tersebut, Waltz diberhentikan dari jabatannya sebagai penasihat keamanan nasional, meskipun ia tidak sepenuhnya dikeluarkan dari lingkaran pemerintahan. Kini, ia menjabat sebagai Duta Besar Amerika Serikat untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kasus ini menggambarkan betapa pentingnya keamanan komunikasi digital, terutama di lingkungan pemerintahan yang kerap menangani isu-isu vital. Dengan meningkatnya ketergantungan pada aplikasi komunikasi berbasis privasi dan enkripsi, satu celah kecil saja dapat menjadi bencana besar bagi stabilitas dan keamanan negara. Lembaga-lembaga terkait kini harus bergerak cepat tidak hanya untuk menangani dampak insiden ini, tetapi juga mengevaluasi ulang sistem komunikasi yang digunakan agar tidak menjadi pintu masuk bagi peretas.