Biang Kerok di Balik Kerusuhan Inggris dan Meningkatnya Kelompok Ekstrem Kanan
Tanggal: 9 Agu 2024 20:01 wib.
Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, bertekad "mengatasi" kekerasan ekstrem kanan yang semakin meluas di seluruh Inggris. Tantangan yang harus dihadapi oleh perdana menteri bukanlah sekadar tentang metode yang akan diterapkan, melainkan siapa yang menjadi sasaran utama.
Dengan banyaknya demonstrasi yang direncanakan akhir pekan ini, usaha menenangkan ketegangan semakin rumit. Salah satu sebabnya terjadinya perubahan dalam gerakan sayap kanan, yang kini telah berkembang dari organisasi yang lebih terstruktur.
Gerakan rasis tersebut sudah menjelma seperti Partai Nasional Inggris yang telah dibubarkan menjadi kelompok-kelompok kecil yang terpecah dan didorong individu tertentu. Kemampuan mereka memicu unjuk rasa mendadak dan menyebarkan berita palsu semakin dipermudah viralitas unggahan di platform seperti TikTok dan X, serta Telegram khusus.
Faktor Kerusuhan di Inggris
1. Kelompok Ekstrimis Sayap Kanan.
Alih-alih menghadapi satu organisasi yang bisa diatur atau dilarang, pihak kepolisian kini berhadapan dengan musuh yang "tidak terdefinisi dengan jelas," kata Paul Jackson, profesor sejarah radikalisme dan ekstremisme di Universitas Northampton.
"Jaringan yang lebih luas" dari kelompok-kelompok dan individu yang terpecah, namun berbagi tujuan serupa dan memiliki kemampuan untuk berkoordinasi secara mendadak, telah diperkuat oleh media sosial.
Minggu ini, Perdana Menteri memperingatkan platform media sosial bahwa provokasi yang "jelas tersebar secara daring" merupakan pelanggaran hukum dan merupakan tanggung jawab mereka untuk mengatasi hal ini.
Kerusuhan yang dimulai pada hari Selasa di Southport, dekat Liverpool, setelah tewasnya tiga gadis muda, telah berkembang menjadi salah satu insiden kekerasan ekstrem kanan yang paling meluas di Inggris dalam beberapa tahun terakhir.
2. Afiliasi dengan Neo-Nazi.
Saat para perusuh pertama kali menyerang sebuah masjid di Southport pada Selasa malam, melemparkan batu bata kepada petugas dan secara keliru menyalahkan imigran serta Islam atas penusukan massal yang menimpa gadis-gadis muda di kelas dansa bertema Taylor Swift sehari sebelumnya, polisi Merseyside awalnya menyalahkan English Defence League (EDL).
Ada desakan agar EDL, yang didirikan oleh salah satu aktivis sayap kanan paling terkenal di Inggris, Stephen Yaxley-Lennon, yang lebih dikenal sebagai Tommy Robinson, diperiksa. Namun, menurut para ahli, EDL sudah tidak aktif secara formal, meskipun beberapa pengikut Robinson, terlibat dalam kerusuhan tersebut.
Menurut Jackson, ada tren dukungan sayap kanan yang sudah berkembang sebelum penusukan massal pada hari Senin. Pengikut Tommy Robinson mendapatkan dorongan dari rapat umum yang diadakannya pada Sabtu sebelumnya — yang merupakan salah satu pertemuan sayap kanan terbesar di London dalam beberapa tahun terakhir dengan sekitar 30.000 peserta.
3. Sebarkan Fitnah terhadap Imigran.
Lebih mengkhawatirkan, menurut Jackson, narasi utama yang dibawa oleh aktivis sayap kanan, terutama tuduhan mereka terhadap imigran, telah mendapatkan dukungan dari arus utama, termasuk dari beberapa anggota pemerintahan Konservatif di bawah pimpinan Rishi Sunak sebelumnya.
"Ketika politisi utama menyampaikan pernyataan yang serupa, mereka memberikan legitimasi kepada kelompok-kelompok kecil tersebut, memberi mereka pengakuan dan pengaruh yang lebih besar," jelas Jackson.
Beberapa jam setelah serangan hari Senin di Southport, Nigel Farage, pemimpin partai Reformasi anti-imigrasi yang kini merupakan anggota parlemen, mengunggah video yang menyiratkan bahwa polisi menyembunyikan fakta mengenai penusukan tersebut.
“Kelompok sayap kanan mempromosikan ketidakpercayaan — itulah taktik mereka,” ujar Jackson.
4. Eksploitasi Isu Anti-Muslim.
Namun, mereka mengadopsi tema anti-Muslim dan anti-imigran yang lebih luas, yang dipicu oleh campur tangan awal dari berbagai influencer sayap kanan dan penyebar teori konspirasi, termasuk Robinson, sekutunya "Danny Tommo", pemimpin partai Reclaim Laurence Fox, dan influencer Andrew Tate.
"Gelombang kemarahan yang terlihat di Southport merupakan gabungan dari kekhawatiran mendalam atas pembunuhan anak-anak yang brutal, dikombinasikan dengan Islamofobia yang sudah mengakar dan misinformasi yang disebarkan oleh influencer yang memanfaatkan situasi untuk memperburuk ketegangan," tulis Joe Mulhall, peneliti senior di organisasi anti-fasis Hope Not Hate, dalam Financial Times.
Georgie Laming, direktur kampanye di kelompok advokasi tersebut, menyebut bahwa banyak dari mereka yang "menciptakan keributan" minggu ini sebelumnya telah dilarang dari X. "Sekarang mereka kembali," ujarnya, setelah Elon Musk, yang mengklaim sebagai "pemegang kebebasan berbicara mutlak", mengambil alih perusahaan media sosial dan mencabut sejumlah larangan.
Tersangka berusia 17 tahun dalam kasus pembunuhan di Southport, yang didakwa dengan tiga tuduhan pembunuhan dan sepuluh tuduhan percobaan pembunuhan di Pengadilan Mahkota Liverpool pada hari Kamis, bukanlah seorang Muslim maupun seorang migran. Axel Rudakubana, yang namanya diungkap setelah hakim mencabut pembatasan pelaporan karena usianya, lahir di Cardiff dari orang tua yang bermigrasi dari Rwanda.