Benarkah Asia-Pasifik Tak Siap Hadapi Krisis Iklim? Ini Temuan Mengejutkan dari Laporan PBB 2025
Tanggal: 22 Apr 2025 09:18 wib.
Asia-Pasifik saat ini tengah berada di persimpangan penting dalam menghadapi krisis iklim. Berdasarkan laporan terbaru dari Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan Pasifik (ESCAP), sejumlah negara di kawasan ini masih sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, terutama jika dilihat dari aspek makroekonomi. Laporan tersebut mengungkap bahwa kesiapan negara-negara Asia-Pasifik masih jauh dari ideal dalam merespons ancaman perubahan iklim yang semakin nyata.
Laporan berjudul Economic and Social Survey of Asia and the Pacific 2025 ini secara gamblang menyebutkan bahwa banyak negara di kawasan belum memiliki ketahanan yang memadai terhadap guncangan iklim maupun proses transisi menuju sistem ekonomi yang lebih hijau. Konsekuensinya pun tidak main-main, mulai dari perlambatan pertumbuhan ekonomi, meningkatnya risiko utang publik, hingga potensi memanasnya tensi dagang antarnegara.
Wakil Sekretaris Jenderal PBB sekaligus Sekretaris Eksekutif ESCAP, Armida Salsiah Alisjahbana, menyampaikan bahwa situasi global saat ini sangat kompleks. Ketidakpastian ekonomi semakin meningkat, sementara risiko iklim juga terus mengintai. Hal ini membuat pengambilan keputusan dalam kebijakan fiskal dan moneter menjadi lebih menantang dibandingkan sebelumnya.
Menurut Armida, untuk bisa bertahan dan tumbuh di tengah tantangan ini, dibutuhkan kombinasi kebijakan nasional yang tangguh serta kolaborasi regional yang terkoordinasi. Hanya dengan cara ini, kawasan Asia-Pasifik bisa menjaga prospek ekonomi jangka panjang sekaligus menghadapi perubahan iklim secara efektif.
Laporan tersebut menganalisis 30 negara di kawasan dan mengidentifikasi 11 negara yang paling rentan terhadap risiko iklim dari perspektif ekonomi makro. Negara-negara tersebut meliputi Afghanistan, Kamboja, Iran, Kazakhstan, Laos, Mongolia, Myanmar, Nepal, Tajikistan, Uzbekistan, dan Vietnam. Kerentanan ini mencerminkan lemahnya kesiapan mereka dalam mengelola dampak perubahan iklim terhadap struktur ekonomi, fiskal, dan sosial.
Salah satu sorotan utama dari laporan ini adalah kesenjangan besar dalam kapasitas negara-negara Asia-Pasifik untuk mengatasi perubahan iklim. Sebagian negara sudah mulai melangkah lebih jauh dengan mengakses pendanaan iklim dan mengimplementasikan kebijakan yang ramah lingkungan. Namun, sebagian besar lainnya masih bergulat dengan berbagai hambatan, seperti keterbatasan ruang fiskal, lemahnya sistem keuangan, serta rendahnya kemampuan dalam pengelolaan keuangan publik.
Ketidakseimbangan ini memunculkan risiko bahwa negara-negara dengan kapasitas terbatas akan tertinggal semakin jauh, baik dari sisi ekonomi maupun adaptasi terhadap perubahan iklim. Padahal, kawasan Asia-Pasifik memiliki potensi besar untuk menjadi pelopor dalam ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan jika mampu memanfaatkan peluang secara tepat.
Dari sisi pertumbuhan ekonomi, kawasan Asia-Pasifik memang masih lebih unggul dibandingkan wilayah lainnya. Namun, pertumbuhannya menunjukkan tren perlambatan. Data ESCAP menyebutkan bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi negara berkembang di kawasan ini hanya mencapai 4,8% pada 2024, turun dari 5,2% di 2023 dan 5,5% dalam periode lima tahun sebelum pandemi Covid-19.
Situasi lebih mengkhawatirkan terjadi di negara-negara kurang berkembang (LDCs), yang hanya mencatatkan pertumbuhan sebesar 3,7% pada tahun 2024. Angka ini jauh dari target 7% per tahun yang ditetapkan dalam Sustainable Development Goals (SDG) 8. Artinya, tanpa perubahan kebijakan dan strategi yang signifikan, tujuan pembangunan berkelanjutan berisiko besar tidak tercapai di kawasan ini.
Untuk merespons tantangan tersebut, ESCAP mendorong pemerintah di kawasan Asia-Pasifik agar lebih aktif dalam menciptakan ekosistem ekonomi yang berdaya saing tinggi. Fokusnya harus pada sektor-sektor yang produktif dan memiliki nilai tambah tinggi, sekaligus membuka ruang bagi investasi berkelanjutan dan teknologi ramah lingkungan.
ESCAP juga menekankan pentingnya memaksimalkan potensi industri hijau dan rantai nilai global sebagai pendorong pertumbuhan baru. Kolaborasi ekonomi yang inklusif antara negara-negara di kawasan pun dianggap sangat penting, agar semua pihak—baik negara maju maupun berkembang—dapat meraih manfaat dari pertumbuhan yang adil dan berkelanjutan.
Laporan ini menjadi alarm penting bagi pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat di Asia-Pasifik. Dengan iklim global yang makin tak menentu, sudah saatnya kawasan ini membangun daya tahan ekonomi dan sosial yang kuat, sambil mengedepankan komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan.
Masa depan kawasan akan sangat ditentukan oleh seberapa cepat dan strategis langkah-langkah yang diambil hari ini. Perubahan iklim bukan lagi isu masa depan—ia adalah tantangan nyata yang sudah mengetuk pintu, dan menunggu respons nyata dari seluruh elemen masyarakat.